Pada zaman Nabi Nuh, bahtera yang menyelamatkan hewan-hewan dari banjir besar menjadi rumah bagi mereka. Hewan-hewan itu dibawa berpasangan, jantan dan betina, sebagai petunjuk agar eksistensi makhluk di bumi tetap lestari. Berpasangan sudah menjadi fitrah bagi seluruh makhluk, termasuk manusia, untuk memastikan kelangsungan keturunan dan peran sebagai pengelola bumi.
Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah menciptakan makhluk berpasangan, sehingga ketika Nabi Nuh diminta membawa hewan berpasangan, hal ini menjadi prinsip bagi manusia. Berpasangan antara laki-laki dan perempuan merupakan esensi dari pernikahan dalam syariat Islam, untuk menghindari hubungan terlarang.
Pernikahan membawa transformasi dari kegelisahan menjadi ketenangan, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an Surat Ar-Rum ayat 21. Konsep sakinah dalam pernikahan adalah tentang ketenangan yang dinamis dan aktif, bukan sekadar keheningan setelah kegaduhan.
Al-Qur’an dan Sunnah menegaskan pentingnya persiapan fisik, mental, dan ekonomi sebelum menikah. Wali tidak boleh menolak peminang hanya karena masalah ekonomi, karena Allah akan memberi kemampuan kepada mereka. Bagi yang belum mampu, disarankan untuk menahan diri hingga mampu menikah.
Meskipun pernikahan adalah sunnah, Al-Qur’an dan Sunnah juga menetapkan aturan yang harus diikuti. Praktik-praktik berbahaya seperti mewarisi istri mendiang ayah dilarang dengan tegas. Islam membawa perubahan dari praktik pernikahan jahiliah menjadi pernikahan yang dimulai dengan pinangan, membayar mahar, dan menikah secara sah.
Pernikahan dalam Islam adalah wujud dari fitrah manusia yang menginginkan pasangan. Dalam sejarah Islam, pernikahan telah mengalami evolusi dari praktik-praktik jahiliah menuju pernikahan yang sesuai dengan ajaran agama. Dengan memahami nilai-nilai pernikahan dalam Islam, kita dapat menjalani hubungan suci yang diridhai oleh Allah SWT.