Berdzikir merupakan amalan yang diperintahkan dalam Al-Qur’an dan hadits, dijelaskan bahwa orang yang senantiasa berzikir termasuk dalam golongan ulul albab. Namun, perdebatan sering muncul mengenai apakah dzikir yang dilakukan dalam hati saja atau dengan lisan yang lebih baik. Beberapa ulama memiliki pendapat berbeda mengenai hal ini.
Menurut sebagian ulama, berdzikir dalam hati lebih disukai daripada berdzikir dengan lisan. Mereka berpendapat bahwa dzikir dalam hati lebih murni dan terhindar dari riya (keinginan untuk dipuji orang). Namun, pendapat lain menyatakan bahwa dzikir dengan lisan kepada Allah lebih utama.
Imam at-Thabari mencoba mengkompromikan kedua pendapat tersebut dengan mempertimbangkan potensi riya dalam berdzikir. Beliau menyatakan bahwa menyembunyikan ibadah sunnah lebih baik daripada menampakkannya, terutama jika dilakukan di depan orang-orang yang tidak berzikir kepada Allah.
Dalam mazhab Syafi’i dan beberapa ulama lainnya, berdzikir hanya dalam hati atau dengan suara yang sangat pelan sehingga tidak terdengar oleh diri sendiri, tidak dianggap sebagai dzikir yang mendapat pahala. Namun, Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan bahwa meskipun tidak terdengar, berdzikir dalam hati tetap memiliki nilai ibadah yang besar jika dilakukan dengan kesungguhan dan merenungkan maknanya.
Kesimpulannya, dzikir yang diperintahkan secara khusus sebaiknya diucapkan dengan lisan agar mendapat pahala sesuai dengan perintah tersebut. Namun, berdzikir dalam hati juga tetap memiliki nilai ibadah jika dilakukan dengan tulus dan merenungkan makna dzikir tersebut. Pemilihan antara dzikir dalam hati atau dengan lisan sebaiknya disesuaikan dengan konteks dan niat dari setiap individu.
Dengan demikian, penting bagi setiap individu untuk memahami makna serta hikmah di balik perbedaan pandangan mengenai dzikir dalam hati atau dengan lisan. Praktik dzikir yang dilakukan dengan tulus dan ikhlas, baik itu dalam hati maupun dengan lisan, akan memberikan keberkahan dan kebaikan bagi diri sendiri.