Di masa-masa menjelang bulan suci Ramadhan, seringkali kita mendengar ayat yang mengingatkan akan kewajiban berpuasa sebagaimana yang diwajibkan kepada umat sebelum kita. Ayat tersebut menyatakan, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (Q.S. al-Baqarah [2]: 183).

Meskipun banyak pembicara dan khatib yang membahas topik puasa dari berbagai sudut pandang, namun masih sedikit yang mengangkat bagaimana puasa dilaksanakan oleh umat terdahulu sebelum kita. Kisah-kisah ini memberikan gambaran tentang praktik puasa pada masa lalu.

Para ulama tafsir seperti Abu Ja’far al-Thabari menyampaikan perbedaan pendapat mengenai puasa umat terdahulu sebelum kita. Sebagian berpendapat bahwa orang-orang yang dimaksud adalah kaum Nasrani, yang menjalankan puasa Ramadhan dengan aturan yang cukup ketat. Mereka tidak makan dan minum dari waktu isya hingga isya berikutnya, serta tidak bergaul suami-istri selama puasa.

Ada juga pendapat bahwa orang-orang terdahulu merujuk kepada Ahli Kitab, khususnya kaum Yahudi, yang menjalankan puasa sebelum turunnya kewajiban puasa Ramadhan. Meskipun ada riwayat tentang puasa tiga hari setiap bulannya sebelum adanya puasa Ramadhan, namun hal ini kemudian dinyatakan sebagai sunnah oleh Rasulullah.

Dalam sejarah, Nabi-nabi seperti Nuh, Adam, dan Muhammad juga dilaporkan menjalankan puasa-puasa tertentu sebelum turunnya kewajiban puasa Ramadhan. Misalnya, Nabi Nuh dan para penumpang kapalnya berpuasa saat kapal berlayar hingga hari ‘Asyura. Nabi Adam juga dikisahkan menjalankan puasa tiga hari pada tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulannya.

Kisah-kisah ini memberikan gambaran tentang praktik puasa yang dilakukan oleh umat terdahulu sebelum turunnya kewajiban berpuasa Ramadhan. Meskipun cara dan waktu puasa bisa berbeda, namun esensi ketaqwaan tetap menjadi tujuan utama dari ibadah puasa tersebut.