Dalam sejarah Islam, terdapat tradisi yang dilakukan oleh para ulama salaf dan khalaf yang dikenal sebagai beristighotsah. Beristighotsah merujuk pada tindakan meminta pertolongan kepada selain Allah, seperti seorang nabi atau wali, atau mendatangi makam mereka dengan keyakinan bahwa mereka hanyalah sebab, sementara pemberi pertolongan sesungguhnya adalah Allah.
Beberapa fakta sejarah menunjukkan praktik beristighotsah ini dilakukan oleh para ulama salaf dan khalaf. Misalnya, dalam riwayat Ad-Darimi disebutkan bahwa penduduk Madinah mengalami paceklik parah, lalu ‘Aisyah memerintahkan mereka untuk mendatangi kuburan Nabi dengan keyakinan agar turun hujan deras.
Umar bin al Khaththab juga tercatat melakukan beristighotsah dengan Abu Musa dan ‘Amr ibn al ‘Ash meskipun keduanya tidak berada di hadapannya. Hal ini menunjukkan keyakinan bahwa beristighotsah dengan seseorang yang tidak hadir secara fisik tidaklah haram.
Tradisi beristighotsah juga terlihat dalam kisah-kisah lain, seperti pengalaman Imam asy-Syafi’i yang mengunjungi kuburan Abu Hanifah tiap hari untuk berziarah. Begitu pula dengan peristiwa yang melibatkan Imam Ahmad ibn Hanbal yang meminta petunjuk kepada orang lain ketika tersesat.
Para ulama salaf juga sering mendatangi kuburan orang-orang saleh seperti Ma’ruf al Karkhi dan Musa al Kazhim untuk berdoa, bertawassul, dan beristighotsah. Mereka meyakini bahwa melalui tindakan ini, doa mereka akan dikabulkan oleh Allah.
Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan bahwa beristighotsah dengan para nabi dan wali bukanlah tindakan kufur atau syirik. Para ulama salaf dan khalaf meyakini bahwa mereka hanyalah perantara, sedangkan pemberi pertolongan sejati adalah Allah.
Dengan tradisi beristighotsah yang sudah menjadi bagian dari sejarah Islam, kita dapat melihat bagaimana keyakinan dan praktik keagamaan telah diterapkan oleh para ulama terdahulu dalam menghadapi kesulitan dan kebutuhan mereka. Tradisi ini tetap menjadi bagian penting dalam warisan keagamaan umat Islam hingga saat ini.