Dalam ajaran Islam, Allah mengatur berbagai jenis makanan yang halal dan haram bagi manusia, termasuk dalam konsumsi daging hewan. Syariat Islam kadang-kadang secara tegas menyebutkan status hukum mengonsumsi suatu hewan, seperti halalnya ikan dan belalang serta haramnya daging babi. Namun, ada juga penjelasan mengenai hukum suatu makanan dari jenis hewan tanpa menyebutkan nama spesifik hewan, melainkan berdasarkan kriteria-kriterianya.
Dalam beberapa kitab fiqih klasik, dijelaskan bahwa penilaian baik-buruknya suatu hewan yang layak dimakan atau tidak berdasarkan penilaian orang Arab. Orang Arab dipilih sebagai pijakan penilaian karena mereka pertama kali menerima tuntutan syariat Islam dan Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab agar dapat dipahami. Ketika terjadi perbedaan penilaian antara orang Arab dengan golongan lain terkait kehalalan suatu hewan, maka penilaian orang Arab yang diutamakan.
Selain itu, penilaian hewan juga menjadi relatif tergantung pada kebiasaan dan pandangan golongan tertentu. Mustahil semua orang sepakat dalam menilai apakah suatu hewan menjijikkan atau tidak. Oleh karena itu, dalam menentukan halal-haram suatu hewan, penilaian orang Arab dijadikan acuan.
Dengan demikian, semua hewan yang dianggap baik oleh orang Arab dihukumi halal untuk dikonsumsi, meskipun tidak ada dalil Al-Qur’an atau hadits yang secara spesifik mengatur tentang kehalalan hewan tersebut. Sebaliknya, hewan yang dianggap buruk atau menjijikkan oleh orang Arab dihukumi haram untuk dikonsumsi, meskipun pandangan ini mungkin berbeda dengan pandangan golongan lain.
Penjelasan ini memberikan gambaran tentang pentingnya penilaian orang Arab dalam menentukan kehalalan dan keharaman suatu hewan dalam syariat Islam.