Pada masa lampau, bersiul merupakan salah satu bentuk ritual yang dilakukan oleh orang-orang kafir Quraisy saat berada di sekitar Baitullah. Al-Qur’an menjelaskan bahwa shalat mereka di sekitar Baitullah hanya berupa siulan dan tepuk tangan (QS. Al-Anfal: 35). Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitab tafsirnya, at-Tafsir al-Munir, menjelaskan bahwa perilaku tersebut menunjukkan ketidaktahuan mereka akan makna ibadah dan ketidaktahuan mereka akan kemuliaan Baitullah.
Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa bersiul merupakan perilaku yang tidak pantas dilakukan di tempat-tempat suci seperti masjid, sekolah, perpustakaan, dan tempat lainnya. Bersiul termasuk dalam kategori perilaku buruk.
Meskipun para ulama tidak secara khusus membahas hukum bersiul, Ibnu Muflih dalam karyanya al-Adab as-Syar’iyyah menyatakan bahwa bersiul dan tepuk tangan termasuk dalam hal yang makruh. Hal ini berarti bahwa secara asalnya, bersiul adalah perbuatan yang tidak disukai.
Namun, saat ini bersiul telah diterima untuk tujuan-tujuan tertentu seperti menenangkan bayi, memanggil seseorang dari jarak jauh, dan tujuan lain yang bermanfaat. Dalam konteks ini, hukum bersiul menjadi diperbolehkan selama tidak mendapat penolakan secara umum dari masyarakat.
Namun, jika bersiul digunakan untuk tujuan yang terlarang seperti mengganggu orang lain atau menyerupai tradisi peribadatan kafir, maka hukumnya menjadi haram. Bersiul dapat menjadi makruh, diperbolehkan, atau bahkan diharamkan tergantung pada konteks penggunaannya.
Dengan demikian, bersiul merupakan perilaku yang harus dipertimbangkan sesuai dengan kemanfaatannya. Sebagai umat Islam, penting bagi kita untuk memahami hukum-hukum kecil seperti ini agar dapat menjalani kehidupan sehari-hari dengan penuh kesadaran dan keberkahan.