Dalam ajaran Syari’ah, terdapat ketentuan yang masyhur dalam mazhab Syafi’i mengenai air yang terkena najis. Menurut mazhab tersebut, jika volume air mencapai dua qullah (216 liter) dan warnanya tidak berubah, maka air tersebut tidak dianggap najis. Namun, jika volumenya kurang dari dua qullah, maka seluruh air akan dianggap najis ketika bersentuhan dengan benda najis. Pendapat dalam mazhab Maliki menyatakan bahwa air tidak dianggap najis kecuali jika warnanya berubah, tanpa memandang volume air.
Dalam konteks menyucikan pakaian yang terkena najis melalui mesin cuci, para ulama sepakat bahwa langkah pertama adalah menghilangkan wujud najis dari pakaian sebelum dimasukkan ke dalam mesin. Proses ini dapat dilakukan dengan menggosok pakaian hingga wujud najis hilang atau menyiram pakaian dengan air. Setelah wujud najis hilang, pakaian dianggap najis hukmiyyah dan dapat disucikan dengan disiram air.
Pada mesin cuci otomatis, air dialirkan dari atas dan langsung dikeluarkan, sehingga pakaian yang dicuci dengan mesin ini dianggap suci menurut mayoritas ulama. Namun, pada mesin cuci biasa, air tidak langsung dikeluarkan setelah mencuci pakaian, menyebabkan perbedaan pandangan di antara ulama. Mayoritas ulama berpendapat bahwa pakaian dalam mesin cuci biasa tidak dianggap suci, bahkan pakaian suci dapat menjadi najis jika masih terdapat wujud najis pada pakaian lainnya.
Dalam kesimpulannya, proses menyucikan pakaian yang terkena najis melalui mesin cuci biasa dapat dilakukan menurut pandangan ulama yang memperbolehkan air kurang dari dua qullah untuk menyucikan benda yang najis. Namun, penting untuk memastikan bahwa pakaian belum dicampuri dengan detergen sebelum dimasukkan ke dalam mesin cuci. Dengan demikian, tindakan manual untuk menghilangkan wujud najis sebelum mencuci pakaian di mesin cuci merupakan langkah yang disarankan untuk memastikan kesucian pakaian.