Manusia memiliki berbagai jenis cairan yang dapat keluar dari tubuhnya. Dalam hukum syariah Islam, beberapa cairan tersebut dihukumi sebagai najis, terutama yang berasal dari saluran pencernaan seperti qubul (jalan depan) dan dubur (jalan belakang). Cairan-carian seperti darah, nanah, dan lainnya yang keluar dari saluran ini dianggap najis.
Namun, terdapat pengecualian untuk cairan mani yang keluar dari jalan depan, yang tetap dianggap suci oleh mayoritas ulama meskipun ada perbedaan pendapat dengan Imam Malik yang menganggap mani juga najis. Cairan lain yang keluar dari tubuh manusia memiliki status hukum yang berbeda-beda, termasuk air liur dan ingus.
Air liur umumnya dianggap suci, kecuali jika air liur berasal dari dalam perut, maka air liur tersebut dihukumi sebagai najis. Tanda-tanda air liur berasal dari perut antara lain berwarna kuning dan berbau tidak sedap. Hal serupa juga berlaku untuk status hukum ingus.
Perincian hukum mengenai air liur dan ingus ini dijelaskan dalam kitab mazhab Syafi’iyah. Ingus yang naik dari perut dianggap najis, sedangkan jika berasal dari kepala atau pangkal tenggorokan dianggap suci. Demikian pula dengan air liur yang mengalir dari mulut orang yang sedang tidur, terdapat penjelasan khusus mengenai hal ini dalam kitab hukum.
Ketika air liur bercampur dengan darah gusi, maka status air liur tersebut menjadi najis karena darah gusi dianggap najis. Namun, jika seseorang mengalami cobaan berupa keluarnya darah gusi secara terus-menerus sehingga air liurnya selalu bercampur dengan darah gusi, maka dalam kondisi tersebut status hukumnya diubah menjadi suci.
Dengan demikian, secara umum air liur dan ingus dianggap suci, kecuali jika berasal dari dalam perut. Kesucian air liur pun berubah menjadi najis ketika bercampur dengan darah gusi, namun ada pengecualian jika darah gusi keluar secara terus-menerus.###