Sistem ekonomi Islam didasarkan pada prinsip ekonomi pasar yang terutama mencakup transaksi jual beli. Dalam muamalah, bagian pertama selalu membahas tentang jual beli yang mencakup syarat-syarat, rukun, serta validitas jual beli dari segi akad dan barang yang diperdagangkan. Prinsip utama dalam ekonomi Islam adalah bahwa keadilan ekonomi seharusnya menjadi landasan yang sudah seharusnya diterapkan di wilayah mayoritas Muslim. Namun, kenyataannya, isu ketidakadilan masih sering muncul terutama dalam situasi perubahan harga BBM, inflasi, atau deflasi.
Dalam sistem ekonomi pasar, prinsip keadilan pasar berlaku di mana barang dengan harga tinggi namun kualitas biasa tidak akan laku terjual. Di sisi lain, barang dari Usaha Kecil Menengah (UKM) dengan kualitas tinggi tetap memiliki nilai jual yang baik. Prinsip ini menunjukkan bahwa keadilan dalam pasar tercermin dari interaksi antara produsen, konsumen, distributor, pemerintah, dan institusi ekonomi.
Apabila terjadi ketidakadilan, penting untuk mengevaluasi peran elemen-elemen ekonomi tersebut. Ketidakadilan bisa disebabkan oleh berbagai faktor seperti produsen, biaya distribusi yang tinggi, kebijakan pemerintah yang tidak mendukung, atau praktik korupsi. Krisis moneter juga dapat menjadi pertanda ketidakadilan ekonomi, namun menurut Imam al-Ghazali, faktor utama keadilan ekonomi bukanlah peredaran uang, melainkan tabiat dasar manusia yang membentuk pasar.
Dalam mewujudkan keadilan pasar, peran produsen, konsumen, distributor, dan pemerintah sebagai pengawas harga sangat penting. Pembangunan infrastruktur juga berperan dalam meminimalkan kesenjangan harga antara tempat produksi dan konsumen. Dengan demikian, keadilan ekonomi dapat terwujud saat hambatan distribusi barang ke konsumen dapat diminimalisir.
Indonesia memiliki potensi besar untuk terus meningkatkan keadilan ekonomi dengan memperhatikan prinsip-prinsip ekonomi Islam dan memastikan semua elemen ekonomi bekerja bersinergi untuk kesejahteraan bersama.