Dalam transaksi jual beli, sering terjadi praktik penukaran uang kembalian dengan permen sebagai ganti nominal uang. Penjual kadang memberikan permen tanpa izin pembeli, namun ada pula yang meminta persetujuan terlebih dahulu. Apakah praktik ini legal?
Menurut pemahaman umum, penukaran uang kembalian dengan permen merupakan akad istibdal an-dain (barter atas tanggungan) yang berbeda dari konsep jual beli awal. Ketika pembeli membayar barang sesuai harga, transaksi dianggap selesai. Namun, jika uang yang dibayarkan melebihi harga barang, penjual memiliki tanggungan pada pembeli yang dapat dijadikan objek akad istibdal.
Para ulama sepakat bahwa akad istibdal tanggungan sah secara syara’. Diperlukan shighat (ucapan serah terima) untuk mendeteksi kerelaan kedua belah pihak atas akad yang dilakukan. Jika penjual bertanya pada pembeli dan pembeli setuju, akad tersebut sah karena terdapat shighat. Namun jika tidak ada ucapan terkait penukaran, akad tetap sah berdasarkan prinsip mu’athah (transaksi diam-diam).
Dalam praktik mu’athah, ulama berbeda pendapat tentang sahnya akad tanpa shighat dari kedua belah pihak. Namun, jika pembeli tidak mengeluh, penukaran kembalian dengan permen tetap dianggap sah menurut ulama yang mengizinkan mu’athah. Jika pembeli menolak, penjual harus memberi uang kembalian dalam nominal yang seharusnya.
Dengan demikian, penukaran uang kembalian dengan permen dianggap sah sebagai akad istibdal an-dain selama tidak ada penolakan dari pembeli. Tetapi, disarankan agar penjual tidak secara sembarangan mengganti uang kembalian dengan permen tanpa memastikan kesediaan dan ridha pembeli terhadap praktik tersebut.