Salah satu syarat penting yang harus dipenuhi agar shalat menjadi wajib bagi seseorang adalah status mukallaf, yaitu telah mencapai baligh dan berakal. Hal ini berarti bahwa shalat tidak diwajibkan bagi anak kecil yang belum baligh, dan tidak wajib juga bagi orang yang tidak memiliki akal seperti orang gila. Hal ini sesuai dengan hadits yang mengatakan bahwa pena diangkat dari tiga golongan, termasuk di dalamnya orang yang pingsan. Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang pingsan berada di posisi di tengah antara orang yang gila dan orang yang tidur.
Dalam konteks hukum fiqih, orang yang pingsan dapat diberikan penempatan hukum yang berbeda-beda. Terkadang, hukumnya sama dengan orang yang tidur, dan terkadang sama dengan orang yang gila. Misalnya, dalam konteks kewajiban mengqadha shalat, orang yang pingsan memiliki hukum yang sama dengan orang yang gila jika pingsannya berlangsung lama, mulai dari awal masuknya waktu shalat hingga waktu shalat berakhir.
Dalam hal seseorang pingsan sebelum masuknya waktu shalat dan tersadar setelah waktu shalat berakhir, orang tersebut tidak diwajibkan untuk mengqadha shalatnya. Namun, jika seseorang pingsan namun masih sempat menemui waktu shalat sebelum pingsan, maka ia tetap wajib melaksanakan shalat yang tertunda karena faktor pingsan. Namun demikian, kewajiban ini dibatasi dengan kondisi apakah waktu tersadar yang dialami oleh orang yang pingsan cukup untuk melaksanakan shalat secara sempurna.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa orang yang pingsan tidak diwajibkan untuk mengqadha shalatnya jika masa pingsannya berlangsung hingga melewati waktu shalat. Namun, jika seseorang pingsan namun masih sempat menemui waktu shalat sebelum pingsan, maka ia tetap wajib untuk mengqadha shalat tersebut setelah tersadar.