Pada artikel ini, kita akan membahas tentang konsepsi istishlah dalam mazhab Mâlikî dan Hanbali, yang merupakan metode penarikan maslahat dari objek hukum yang sedang diamati. Kedua mazhab ini menerima konsepsi istishlah sebagai cara untuk menemukan kemudahan tanpa menghadapi risiko. Namun, konsep ini seringkali membuat fuqahâ’ terjebak, menjadi tasâhul dalam hukum tanpa mencari konsepsi idealitasnya.
Imam Ahmad ibnu Hanbal, sebagai pengasas istishlah, menghadapi berbagai ujian dalam kehidupannya. Salah satunya adalah saat masa ayyâmu al-mihnah, di mana ia menolak keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk yang dipaksakan oleh khalifah. Hal ini mengakibatkan Imam Ahmad dipenjara beberapa kali. Keberpihakan Imam pada keyakinan ini menunjukkan kehati-hatian dalam menggali hukum.
Pengalaman Imam Ahmad ini memberikan pemahaman tentang pentingnya mempertahankan keyakinan dan prinsip dalam menghadapi tekanan politis. Penolakan beliau terhadap apa yang dipaksakan oleh penguasa pada saat itu menunjukkan ketegasan dalam memegang prinsip yang diyakininya.
Dalam konteks pengasas istihsân dan istishlâh, Imam Abû Hanîfah juga mengalami penolakan terhadap jabatan qâdli yang berujung pada hukuman dera. Keputusan keduanya untuk menolak tawaran jabatan menunjukkan kehati-hatian dalam menjaga prinsip dan keyakinan yang mereka anut.
Kesimpulannya, penerapan maslahat dalam hukum tidak selalu mudah dilakukan. Terkadang, para tokoh agama harus menghadapi tekanan dan ujian untuk mempertahankan keyakinan dan prinsip yang diyakini sebagai bagian dari kehati-hatian dalam menjalankan ajaran agama.