Dalam studi mengenai fiqih mazhab Syafi’i, penting untuk memahami konsep maslahat atau kemaslahatan yang sering kali kurang diperhatikan dalam proses pengambilan hukum. Salah satu contoh yang sering dibahas adalah dalam transaksi jual beli barang yang tidak tampak. Misalnya, dalam mazhab Imam Syafi’i, jika seseorang membeli buah kelapa yang tidak terlihat isinya untuk menghindari kerugian akibat ketidaktahuan, maka disyaratkan buah kelapa tersebut harus dikupas terlebih dahulu. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya aspek ketidakjelasan ini dalam transaksi jual beli.
Selain itu, dalam kasus jual beli tanpa transaksi langsung (bai’u al-mu’athah), mazhab Syafi’i hanya mengakui transaksi ini berdasarkan ‘urf (kebiasaan) yang berlaku, namun dengan batasan tertentu. Barang yang dijual tidak boleh bernilai tinggi, dan ada ketentuan-ketentuan lain seperti larangan menjual anak kecil karena mereka bukan ahli dalam mengelola harta. Syarat-syarat ini juga menjadi bagian penting dalam transaksi jual beli menurut mazhab Syafi’i.
Dalam memahami konsep maslahat ini, kita perlu melihat sumber hukum utama dalam mazhab Syafi’i, yaitu Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijmâ, dan Qiyâs. Perbedaan antara qaul qadim (pendapat lama) dan qaul jadid (pendapat baru) Imam Syafi’i seringkali menjadi perdebatan menarik. Meskipun keduanya berasal dari mujtahid yang sama, Imam Syafi’i, namun terdapat perbedaan hukum dalam beberapa masalah. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengambilan hukum tidak selalu konsisten dan tergantung pada kondisi sosio-historis yang melingkupinya.
Imam Syafi’i sendiri lahir pada tahun 150 H dan wafat pada tahun 204 H di Mesir. Beliau belajar dari berbagai ulama besar pada masanya seperti Imam Malik dan murid-murid Imam Abu Hanifah. Metode pengambilan hukum beliau tergambar dalam kitab “al-Risâlah” yang menunjukkan penerapan metode qiyâs secara luas.
Dari pemahaman konsep maslahat dalam fiqih mazhab Syafi’i, kita dapat melihat bagaimana aspek kemaslahatan menjadi salah satu pertimbangan penting dalam proses pengambilan hukum. Imam Syafi’i tidak hanya menekankan pada sumber-sumber hukum utama, tetapi juga mempertimbangkan maslahat sebagai faktor yang relevan dalam menyusun fatwa. Dengan demikian, pemahaman yang mendalam terhadap konsep ini dapat menjadi landasan yang kuat dalam memahami fiqih mazhab Syafi’i secara lebih komprehensif.