Dalam kitab al-Muwâfaqât, Al-Syâthibî mengungkapkan bahwa Imam Anas ibn Mâlik sering menggunakan istilah saddu al-dzarâi’ dalam beberapa studinya. Saddu al-dzarâi’ adalah upaya antisipatif untuk memprediksi kemungkinan bahaya yang dapat timbul di masa depan. Konsep ini mirip dengan hipotesis tentang kemungkinan terjadinya sesuatu berdasarkan indikasi yang menunjukkan kemungkinan besar kejadian tersebut akan terjadi.
Sebagai contoh, dalam mazhab Maliki, transaksi jual beli anggur kepada perusahaan minuman keras dianggap tidak sah. Penolakan transaksi ini bukan karena kerusakan akadnya, melainkan sebagai bentuk sanksi terhadap perusahaan tersebut agar tidak lagi memproduksi minuman keras. Prinsip ketidaksahan transaksi ini juga berlaku untuk jual beli senjata tajam kepada individu yang diduga akan melakukan perampokan, musuh umat Islam, atau teroris.
Imam Malik banyak membahas konsep saddu al-dzarâi’ ini khususnya dalam konteks transaksi jual beli, hukuman, dan pernikahan. Namun, apakah pembahasan konsep ini juga terdapat di bab-bab lain masih perlu ditelusuri lebih lanjut.
Di mazhab Hanafi dan Syafi’i, validitas transaksi jual beli ditentukan oleh akad yang sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan serta pelaksanaan akad yang memenuhi ketentuan syariah. Jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka transaksi dianggap bathil. Dalam kasus jual beli anggur dan senjata tajam untuk tujuan tertentu seperti yang disebutkan sebelumnya, kedua mazhab tersebut tetap menganggap transaksi tersebut sah.
Dalam hal hukuman, mazhab Maliki memberlakukan pengetatan hukuman bagi individu yang secara berulang kali melakukan kesalahan yang sama. Tujuannya adalah untuk memberikan efek jera kepada pelaku. Pendekatan ini dibandingkan dengan tindakan Umar bin Khathab dalam menolak muslim ahli ma’shiyat menerima bagian zakat meskipun sebenarnya mereka masuk kategori ashnaf zakat.
Perbedaan pendapat terjadi dalam mazhab Syafi’i, di mana muslim ahli ma’shiyat tetap diperlakukan seperti muallaf dan memerlukan pembinaan terus-menerus.
Dalam menerapkan konsep saddu al-dzarîah, Mazhab Imam Malik menekankan pentingnya menjaga kemaslahatan umum. Pendekatan ini sejalan dengan konsep istishlah yang menempatkan kemaslahatan umum sebagai prioritas utama.
Dari kasus-kasus yang telah disebutkan, terlihat bahwa Mazhab Imam Malik menerapkan konsep saddu al-dzarîah dengan semangat yang sama dengan konsep istishlah, yaitu menarik kemaslahatan lebih dahulu daripada menolak mafsadah.
Dalam konteks transaksi jual beli makanan yang dicampur dengan pupuk seperti yang pernah dipublikasikan sebelumnya, mazhab Maliki dan Syafi’i memiliki pandangan berbeda. Mazhab Maliki memandang transaksi tersebut tidak sah karena adanya unsur tambahan yang dapat menimbulkan mafsadah. Sementara itu, Mazhab Syafi’i menganggap transaksi tersebut sah selama unsur tambahan tersebut tidak membawa potensi bahaya yang terbukti.
Kesimpulannya, konsep manhaj antisipatif Malikiyah memberikan perhatian pada menjaga kemaslahatan umum dan mengantisipasi kemungkinan bahaya di masa depan dalam transaksi jual beli, hukuman, dan zakat. Dalam konteks yang lebih luas, konsep ini mencerminkan semangat untuk mendahulukan kebaikan umum daripada menolak mafsadah.