Dalam kajian fiqih, seringkali kita menemui interpretasi yang berbeda terkait dengan istilah Arab, seperti mâ’ al-barad (ماءالبرد) yang diterjemahkan sebagai ‘air embun’. Namun, apakah penerjemahan ini benar adanya?
Dalam kitab Taqrib, disebutkan bahwa tujuh jenis air yang boleh digunakan untuk bersuci antara lain adalah air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air mata air, air salju, dan air barad. Namun, di beberapa literatur fiqih Indonesia, mâ’ al-barad sering diterjemahkan sebagai ‘air embun’.
Arti embun sendiri dijelaskan sebagai titik-titik air yang jatuh dari udara terutama pada malam hari. Proses terbentuknya embun biasanya terjadi saat uap air mengalami pengembunan menjadi cairan. Di sisi lain, makna الندى dalam bahasa Arab adalah padanan kata untuk embun.
Dalam pandangan Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, ia menjelaskan bahwa embun (الندى) adalah air yang turun di akhir malam dan jatuh pada tanaman hijau. Sementara untuk mâ’ al-barad, ia menjelaskan sebagai air yang turun dalam keadaan membeku seperti garam kemudian mencair di atas bumi.
Penjelasan dari ulama-ulama klasik dan kontemporer serta dalam kitab-kitab fiqih menegaskan bahwa ماء البرد lebih tepat diartikan sebagai hujan es atau es yang berbentuk butiran yang turun dari langit. Sedangkan untuk embun (الندى) dan salju (الثلج) memiliki makna yang berbeda.
Dengan demikian, memahami dengan benar makna dari istilah Arab dalam konteks fiqih sangat penting untuk menjaga ketepatan dalam menjalankan ibadah termasuk dalam masalah thaharah. Semoga informasi ini dapat memberikan pemahaman lebih mendalam mengenai ‘air embun’ dan mâ’ al-barad dalam praktik fiqih sehari-hari.