Imam Abu Hanifah, sosok yang dikenal sebagai pendiri mazhab Hanafi, lahir di Kufah pada tahun 80 H dan wafat di Baghdad pada tahun 148 H. Beliau adalah salah satu tokoh yang hidup pada abad pertama Hijriah dan memiliki kesempatan untuk bertemu langsung dengan sahabat Nabi dan peserta Perang Badar.
Imam Abu Hanifah mulai menggeluti kajian keislaman di zamannya saat bekerja membantu orang tuanya yang berprofesi sebagai pedagang sutra. Di tengah perjalanannya, beliau berguru kepada Syeikh Hammad ibnu Sulaiman, yang kemudian memberinya gelar al-Watad karena ketekunan beliau dalam beribadah.
Salah satu hal yang membedakan mazhab Hanafi adalah penggunaan istihsân sebagai metode ijtihad. Istihsân merupakan upaya Imam Abu Hanifah untuk mencari hukum ketika tidak ada dalil yang jelas dari Al-Qur’an atau as-Sunnah. Beliau juga terkenal dengan nalar burhani, dimana pemikirannya dipengaruhi oleh kondisi sosial, budaya, dan geografis masyarakat di sekitarnya.
Dalam bidang fiqih, Imam Abu Hanifah menyelesaikan kurang lebih 600 ribu persoalan fiqih yang berbeda, yang membuatnya dijuluki sebagai al-Imam al-A’dhâm. Beliau juga memiliki pandangan unik terkait dengan konsepsi kafaah dalam pernikahan, kedudukan wali perempuan, dan nasab anak di luar nikah.
Meskipun Imam Abu Hanifah menerima istihsân sebagai dalil hukum, beliau tidak menganggapnya sebagai bagian dari ushul fiqih. Istihsân menempati posisi di dalam ilmu fiqih dan juz’iyyat menurut pandangan beliau.
Dengan segala keunikan metode ijtihadnya dan kontribusinya dalam bidang fiqih, Imam Abu Hanifah tetap dihormati sebagai salah satu ulama besar dalam sejarah Islam. Figur beliau memberikan inspirasi bagi generasi-generasi berikutnya dalam memahami dan mengembangkan ilmu agama.