Pada diskusi ulama tentang kebolehan menggunakan sabun sebagai pengganti debu dalam proses penyucian najis anjing, terdapat perbedaan pandangan yang menarik untuk dieksplorasi. Najis anjing, yang termasuk dalam kategori najis mughalladhah, memiliki aturan penyucian khusus menurut hadits Rasulullah ﷺ.
Menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali, seluruh bagian dari anjing dianggap sebagai najis mughalladhah, bukan hanya air liur atau jilatannya saja. Oleh karena itu, dalam proses penyucian najis mughalladhah, anjing harus dicuci sebanyak tujuh kali dengan salah satu air mencuci yang dicampur dengan debu.
Perdebatan muncul mengenai apakah sabun dapat menggantikan fungsi debu dalam proses ini. Beberapa ulama menegaskan bahwa debu tidak bisa digantikan oleh sabun dalam proses penyucian. Mereka berpendapat bahwa alat penyucian hanya terdiri dari air dan debu, dan debu tidak dapat digantikan dengan bahan lain seperti pasir atau tepung.
Namun, ada juga ulama yang memperbolehkan penggunaan sabun sebagai pengganti debu dengan analogi menyamak kulit hewan bangkai. Mereka memandang bahwa jika bahan lain selain tawas dapat digunakan untuk menyamak, maka sabun juga dapat dijadikan alternatif pengganti debu dalam proses penyucian.
Selain itu, terdapat pandangan bahwa penggunaan sabun hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat, ketika tidak ada debu yang tersedia. Namun, dalam situasi tertentu seperti di tempat-tempat tertentu yang sulit mendapatkan debu, penggunaan sabun sebagai pengganti debu dapat diperbolehkan.
Pada akhirnya, penting untuk memahami pandangan berbeda ulama mengenai penggunaan sabun sebagai pengganti debu dalam konteks penyucian najis anjing. Sementara kita cenderung mengikuti pendapat al-adh-har yang menekankan pentingnya debu dalam proses ini, dalam kondisi tertentu, pendapat alternatif juga dapat dipertimbangkan sebagai solusi praktis.