Shalat jenazah merupakan salah satu jenis ibadah yang memiliki status fardhu kifayah, yaitu kewajiban kolektif. Ketika salah satu penduduk sudah melaksanakan shalat jenazah, maka kewajiban tersebut dianggap sudah terpenuhi bagi penduduk lainnya. Tata cara shalat jenazah dilakukan dengan empat takbir. Takbir pertama dilakukan sambil niat menshalati mayit dan membaca Surat Al-Fatihah, takbir kedua dengan membaca shalawat nabi, takbir ketiga dengan membaca doa-doa untuk mayit, dan takbir keempat diikuti dengan salam.
Masalah muncul ketika seseorang akan melaksanakan shalat jenazah tanpa mengetahui jenis kelamin mayit. Dalam hal ini, para ulama Mazhab Syafi’iyah berpendapat bahwa orang tersebut diperbolehkan menggunakan dhamir “hu” atau “ha” dalam bacaan doa setelah takbir ketiga. Penggunaan dhamir “hu” atau “ha” ditujukan pada kata “mayit” atau “jenazah” untuk mengakomodasi baik mayit laki-laki maupun perempuan.
Menurut Kitab Mughnil Muhtaj, jika tidak diketahui apakah mayit laki-laki atau perempuan, maka boleh menggunakan kata “mamluk” atau kata lain yang sama, serta boleh menggunakan dhamir mudzakkar (laki-laki) dengan menghendaki kata “As-Syakhs” atau “Al-Mayyit”, atau dhamir muannats (perempuan) dengan menghendaki kata “al-janazah.”
Niat shalat jenazah untuk mayit yang tidak diketahui jenis kelaminnya tidak perlu diungkapkan secara jelas dengan dhamir mudzakkar atau muannats. Cukup menggunakan kata isyarat seperti “Saya niat menshalati mayit ini sebagai shalat fardhu karena Allah ta’ala.” Dengan demikian, meskipun tidak diketahui jenis kelamin mayit, penggunaan kata “mayit ini” sudah dianggap memadai karena mencakup baik mayit laki-laki maupun perempuan.