Tanah wakaf di Indonesia tersebar di 435.768 lokasi dengan luas mencapai 4.359.443.170 meter persegi. Namun, hanya 287.160 lokasi yang telah bersertifikat wakaf. Hal ini menimbulkan potensi sengketa di kemudian hari antara nadzir (pengelola wakaf) dengan keluarga waqif (orang yang mewakafkan) atau bahkan antara nadzir sendiri.
Dalam konteks hukum mensertifikatkan tanah wakaf, ada perdebatan apakah hal ini hanya mubah, sunah, atau bahkan wajib. Menurut beberapa riwayat, Sayyidah Fatimah pernah memberikan wakaf dan menginstruksikan untuk mencatatnya. Ini memberikan pelajaran penting tentang kehati-hatian dalam urusan material.
Ada pandangan yang menyatakan bahwa mensertifikatkan tanah wakaf hukumnya sunnah, kecuali jika terdapat potensi sengketa yang dapat membuat tanah wakaf terbengkalai, maka mensertifikatkan menjadi wajib.
Terkait tanggung jawab dalam proses pensertifikatan tanah wakaf, nadzir merupakan pihak yang paling bertanggung jawab. Mereka memiliki kewajiban untuk menjaga harta wakaf sesuai dengan aturan syariah.
Pertanyaan penting lainnya adalah dari mana biaya pensertifikatan tanah wakaf berasal. Tidak diperbolehkan mengambil dana zakat untuk tujuan tersebut berdasarkan konsensus empat ulama mujtahid.
Biaya sertifikat bisa diambil dari sumber yang telah ditentukan oleh waqif saat mewakafkan hartanya. Jika waqif tidak menentukan, biaya tersebut bisa diambil dari hasil usaha yang dikembangkan dari harta wakaf itu sendiri atau dari baitul mâl.
Mensertifikatkan tanah wakaf bukan hanya sekadar tindakan formalitas, namun juga menjadi langkah penting untuk mencegah potensi sengketa di masa mendatang. Kehati-hatian dan kejelasan dalam proses mensertifikatkan tanah wakaf menjadi kunci untuk menjaga keberlangsungan serta keberkahannya.