Pada setiap hari Jumat, umat Muslim berkumpul di masjid untuk melaksanakan ibadah Jumat. Namun, tidak jarang ditemui kendala dalam menjalankan ibadah tersebut. Beberapa masjid mungkin tidak mampu menampung semua jamaah, atau lokasinya terlalu jauh dijangkau oleh sebagian umat. Bahkan, konflik internal dalam masyarakat pun dapat menjadi hambatan.
Dampak dari kendala tersebut adalah terdapat beberapa kelompok yang mendirikan ibadah Jumat secara terpisah. Beberapa di antaranya meminta izin pemerintah setempat, namun ada pula yang tidak melakukannya. Dari segi hukum fiqih, berbilangnya ibadah Jumat karena alasan-alasan tersebut diperbolehkan karena kebutuhan.
Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama mengenai perlunya izin pemerintah dalam pelaksanaan ibadah Jumat. Menurut tiga mazhab, yaitu Syafi’iyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah, izin pemerintah tidak diwajibkan. Namun, mereka menyarankan untuk meminta izin sebagai tindakan sunnah sebelum melaksanakan ibadah Jumat.
Di sisi lain, kalangan Hanafiyyah menganggap bahwa izin pemerintah mutlak diperlukan. Mereka berpendapat bahwa ibadah Jumat tidak sah tanpa izin penguasa. Hal ini menimbulkan perbedaan pandangan dalam hal ini.
Selain itu, ulama Hanafiyyah mensyaratkan agar pemerintah atau staf yang ditunjuk sebagai imam dan khatib Jumat. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya perselisihan terkait siapa yang akan menjadi imam atau khatib.
Meskipun demikian, ulama selain Hanafiyyah tidak mensyaratkan izin dari imam atau kehadiran pemerintah sebagai khatib dan imam Jumat. Mereka mengacu pada contoh perilaku sahabat dalam menjalankan ibadah Jumat.
Secara umum, izin pemerintah dalam pelaksanaan ibadah Jumat masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Namun, meminta izin terlebih dahulu kepada pemerintah setempat tetap dianggap lebih baik sebagai upaya untuk menghindari segala kemungkinan yang tidak diinginkan. Semoga informasi ini memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai perlunya izin pemerintah dalam ibadah Jumat.