Ada sebuah kaidah fiqih yang sering digunakan oleh sebagian kelompok untuk menilai suatu tindakan, yaitu: “Kalau itu memang baik, tentu ulama salaf sudah mendahului kita melakukannya.” Logika di balik kaidah ini menyatakan bahwa ulama salaf selalu giat dalam melakukan kebaikan sehingga apapun yang belum mereka lakukan dianggap sebagai sesuatu yang terlarang.
Ungkapan ini pertama kali muncul ketika Imam Ibnu Katsir menafsirkan sebuah ayat yang kemudian digunakan oleh orang-orang kafir untuk merendahkan kaum Muslimin. Mereka menyatakan bahwa jika Al-Qur’an benar-benar baik, maka pemimpin Quraisy tidak akan didahului oleh para sahabat dalam menerimanya. Namun, argumen ini kemudian dibalas oleh Ibnu Katsir dengan menyatakan bahwa setiap perbuatan atau ucapan yang tidak dilakukan oleh sahabat dianggap sebagai bid’ah oleh Ahlussunnah wal Jamaah.
Meskipun kaidah ini bisa digunakan sebagai argumen dalam perdebatan, namun jika dijadikan sebagai kaidah universal untuk menilai bid’ah, terdapat beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan:
- Generalisasi yang tidak berdasar: Menganggap bahwa segala perbuatan yang tidak dilakukan oleh sahabat adalah bid’ah merupakan generalisasi yang tidak memiliki dasar kuat.
- Klaim tanpa bukti: Mengatakan bahwa para sahabat tidak pernah meninggalkan kebaikan tanpa segera melakukannya juga merupakan klaim tanpa bukti yang jelas.
- Kebaikan tak terbatas: Kebaikan tidak hanya terjadi di masa sahabat, namun juga terus berkembang dalam generasi selanjutnya hingga saat ini.
Jadi, meskipun kaidah ini dapat digunakan dalam konteks tertentu, namun jika dijadikan sebagai patokan universal, dapat menyebabkan penilaian yang tidak akurat dan absurd. Penting untuk memahami konteks sejarah dan kebenaran di balik setiap kaidah fiqih yang ada.