Perayaan Maulid Nabi Muhammad ﷺ telah menjadi topik yang menarik perhatian, terutama dalam kaitannya dengan pandangan ulama serta sejarahnya. Dalam sejarah, perayaan ini pertama kali diselenggarakan secara besar-besaran oleh Raja Mudhaffaruddin Kokburi, atau dikenal sebagai Amir Gökböri, penguasa Irbil pada abad keenam hijriah. Berbagai ulama terkemuka seperti Imam al-Iraqi, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam Sakhawi, Imam Al-Jazari, Imam As-Suyuthi, dan lainnya, telah menyatakan bahwa peringatan Maulid Nabi adalah sesuatu yang baik.
Meskipun para ulama sepakat bahwa perayaan Maulid Nabi sebaiknya tidak melibatkan praktik-praktik yang bertentangan dengan syariat, seperti campur baur antara lelaki dan perempuan atau nyanyian yang tidak pantas, namun masih ada upaya untuk memutarbalikkan fakta mengenai pandangan ulama terhadap perayaan ini. Salah satu contoh distorsi sejarah terjadi pada kitab al-Qaul al-Fashl Fî Hukmi al-Ihtifâl Bimaulidi Khairi ar-Rusul, yang sengaja ditulis untuk menentang pandangan ulama yang memperbolehkan peringatan Maulid.
Dalam kitab tersebut, terdapat catatan yang mengklaim bahwa beberapa ulama terkenal seperti Imam al-Iraqi, Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Imam as-Sakhawi, Syekh Ibnu Thabbakh, dan Syekh at-Tazmanti as-Syafi’i tidak menyukai peringatan Maulid Nabi karena tidak ada tradisi tersebut di masa salaf. Namun, ketika kita melihat pernyataan lengkap para imam tersebut, sebenarnya banyak dari mereka yang menganggap peringatan Maulid sebagai bid’ah mustahabbah, atau hal baru yang disunnahkan.
Dari penjelasan di atas, penting bagi kita untuk melihat fakta sejarah dan pandangan ulama secara komprehensif sebelum menarik kesimpulan. Perdebatan mengenai peringatan Maulid Nabi memang masih terus berlangsung, namun kita harus memastikan bahwa informasi yang kita terima tidak terdistorsi oleh pihak-pihak yang memiliki agenda tertentu. Sebagai umat Muslim, penting bagi kita untuk menghormati pendapat ulama dan menjaga keberkahan serta kebersihan dalam merayakan peristiwa-peristiwa agama.