Gangguan mental atau kegilaan merupakan kondisi yang dianggap sebagai uzur dalam ajaran Islam. Orang yang mengalami gangguan ini dianggap tidak bertanggung jawab atas perbuatannya di hadapan Allah. Hal ini karena syarat utama bagi seseorang untuk mendapat pahala atau dosa dalam Islam adalah memiliki kemampuan akal dan telah baligh. Dalam hadits Rasulullah, disebutkan bahwa orang gila termasuk dalam golongan yang tidak akan diminta pertanggungjawaban atas perbuatannya hingga ia berakal.
Bagi orang yang mengalami gangguan mental, hukum syariat tidak memberlakukan kewajiban atau larangan tertentu terhadap mereka. Namun, syariat menegaskan kewajiban bagi orang lain untuk merespons keberadaan dan keperluan orang gila, termasuk dalam hal merawat jenazah mereka setelah meninggal dunia. Merawat jenazah memiliki konsekuensi hukum fardhu kifayah, yang berarti jika sudah ada satu orang yang menjalankannya di suatu wilayah, maka kewajiban tersebut terpenuhi bagi yang lain. Namun, jika tidak ada yang melaksanakan kewajiban tersebut, maka semua orang yang mengetahui kewajiban tersebut akan mendapat dosa.
Kewajiban merawat jenazah orang gila meliputi proses pemandian, pengafanan, penyolatan, dan pemakaman. Semua proses ini harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab, termasuk ketika merawat jenazah orang gila. Kewajiban ini berlaku bagi siapa pun yang mengetahui atau menduga kuat akan kematiannya, serta bagi mereka yang ceroboh dalam mengetahui keberadaan jenazah orang gila yang meninggal.
Selain kewajiban merawat jenazah orang gila, juga terdapat kewajiban terkait dengan tajhizul janazah (persiapan jenazah). Proses ini harus dilakukan sesegera mungkin tanpa penundaan, serta harus dilakukan oleh individu yang sejenis kelamin atau mahramnya. Semua aspek ini merupakan bagian dari kewajiban umat Islam dalam memuliakan jenazah orang gila, sebagaimana diwajibkan dalam ajaran agama Islam.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kewajiban merawat jenazah orang gila tidak berbeda dengan kewajiban merawat jenazah orang sehat secara umum. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun seseorang mengalami gangguan mental, ia tetap dianggap sebagai manusia yang layak mendapat penghormatan dan perlakuan terbaik dari sesama umat Islam.