Kepercayaan terhadap adanya hari sial telah mengakar dalam budaya masyarakat sejak zaman dahulu kala. Konsep ini terus bertahan meskipun datangnya ajaran Islam. Beberapa orang yakin bahwa hari-hari tertentu membawa petaka atau kesialan, seperti hari Rabu terakhir setiap bulan. Namun, apakah benar adanya hari sial?
Dari segi agama, keyakinan terhadap kesialan atau keberuntungan seseorang seharusnya hanya bergantung pada Allah semata. Keputusan mengenai keberuntungan atau kesialan seseorang sudah ditetapkan sejak awal oleh Allah dan tidak berkaitan dengan hari atau momen tertentu.
Menurut Imam al-Munawi, hari sial sebenarnya tidak ada. Keyakinan akan adanya hari sial justru dapat membawa kesialan bagi yang meyakininya. Orang yang yakin bahwa hal tersebut tidak berpengaruh pada kehidupannya, tidak akan merasakan dampak buruk dari hari sial. Hanya mereka yang percaya pada tanda-tanda kesialan yang akan terpengaruh.
Dari sudut pandang agama, Allah mengikuti prasangka hamba-Nya tentang Dia. Jika seseorang meyakini bahwa Allah akan memberinya kesialan, mungkin Allah akan menuruti pikiran negatif tersebut. Sebaliknya, jika seseorang yakin bahwa Allah akan memberinya kesuksesan, besar kemungkinan harapan positif itu akan terwujud.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat perkotaan cenderung tidak terpengaruh oleh konsep hari sial, sementara masyarakat pedesaan masih mempercayainya dan seringkali mengalami dampak negatif akibat keyakinan tersebut.
Penting untuk memahami bahwa keberuntungan dan kesialan hanya bergantung pada kehendak Allah semata. Dengan meyakini bahwa hanya Allah yang dapat memberikan keberuntungan atau kesialan, kita dapat menjalani hidup tanpa terbebani oleh mitos tentang hari sial.