Dalam praktek sewa-menyewa, seringkali terjadi sengketa antara pihak penyewa dan pihak yang menyewakan terkait dengan wanprestasi dan overmacht. Wanprestasi merujuk pada pihak yang tidak memenuhi janji atau kewajibannya dengan baik akibat kelalaian atau kealpaannya. Sementara overmacht adalah kondisi di mana pihak tersebut tidak dapat memenuhi kewajibannya karena adanya keadaan yang memaksa.
Kedua kondisi ini diatur dalam hukum perdata, di mana penyelesaiannya diatur sesuai dengan Pasal 1267. Dalam kasus sengketa, dapat ditingkatkan ke jalur pidana sesuai dengan Pasal 372 KUH Pidana. Beberapa delik aduan yang sering muncul meliputi tuntutan ganti rugi, pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian dengan pengembalian barang yang diterima, serta pembatalan perjanjian dengan ganti kerugian.
Penting untuk memperhatikan bahwa dalam situasi bencana, rusaknya objek transaksi bukan disebabkan oleh kesalahan debitur atau kreditur. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai penyelesaian tuntutan dalam kondisi overmacht. Misalnya, apakah seorang penyewa yang sudah membayar uang sewa namun objek transaksinya rusak akibat bencana dapat menuntut ganti rugi?
Selain itu, kejujuran dalam perjanjian juga menjadi faktor penting. Dalam situasi di mana terjadi overmacht, perlu dilakukan penyelidikan untuk memastikan bahwa kondisi tersebut bukan rekayasa. Jika debitur terbukti bersalah, kreditur memiliki hak untuk menuntut ganti biaya dan kerugian sesuai dengan hukum yang berlaku.
Dalam konteks praktik ijarah, seperti sewa mobil, pada situasi bencana, penting bagi pihak penyewa untuk membuktikan bahwa mereka tidak dengan sengaja membawa barang sewaan ke lokasi bencana. Jika tidak ada unsur kesengajaan, maka penyewa tidak seharusnya dituntut ganti rugi oleh perusahaan rental.
Dalam penyelesaian kasus sewa-menyewa di tengah situasi bencana, diperlukan pemahaman mendalam mengenai hukum ekonomi syariah terkait dengan wanprestasi dan overmacht.###