Mudlarabah merupakan bagian dari produk bagi hasil yang disiapkan oleh perbankan. Pada paket bagi hasil akad ini, terdapat dua kategori mudlarabah, yaitu mudlarabah muthlaqah dan mudlarabah muqayyadah. Mudlarabah muthlaqah tidak memiliki ketentuan tempat atau obyek investasi, sementara mudlarabah muqayyadah melibatkan syarat tempat dan obyek investasi. Ketika kedua kategori ini digabungkan dengan izin pengelola untuk berinvestasi demi mengembangkan usaha, maka disebut sebagai musyarakah mudlarabah.
Praktik mudlarabah umumnya dilakukan dengan modal 100% disediakan oleh pemodal. Namun, dalam musyarakah mudlarabah, pengelola dapat menyertakan dananya untuk mengembangkan usaha lebih lanjut. Produk mudlarabah dalam dunia perbankan mencakup produk tabungan investasi seperti deposito dan reksadana. Deposito termasuk dalam mudlarabah muthlaqah, sedangkan reksadana masuk dalam mudlarabah muqayyadah.
Untuk produk pembiayaan yang menggunakan akad mudlarabah, contohnya adalah akad istishna’, musaaqah, istithmār, dan akad salam. Namun, akad salam memiliki kemungkinan kecil atau bahkan tidak digunakan sama sekali. Akad mudharabah musyarakah menjadi yang paling umum digunakan dalam unsur pembiayaan, seperti pembiayaan ekspor-impor.
Dalam situasi terdampak bencana yang mengakibatkan kerugian barang milik, bank bertanggung jawab sesuai hukum yang berlaku pada akad jual beli murābahah. Bank hanya bertanggung jawab atas kerugian jika disebabkan oleh kesalahan pengelolaan, bukan karena faktor bencana alam.
Pada akad musyarakah mudlarabah, pembatalan akad tergantung pada kesepakatan kedua pihak yang terlibat. Dalam akad ini, terdapat kerjasama antara nasabah (debitur) dan bank (kreditur). Jika terjadi penambahan modal oleh pelaksana dalam usaha, maka perhitungan ulang menjadi syarat yang harus dilakukan. Bank tidak dapat menagih nasabah korban bencana karena untung rugi harus ditanggung bersama antara pelaku usaha dan bank.
Pentingnya peran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam situasi ini juga sangat ditekankan untuk melindungi dana investasi nasabah, terutama dalam kondisi rawan bencana. Akad istithmar, misalnya, memungkinkan bank untuk memberlakukan kebijakan pemutihan atau hapus tagih ke nasabah dalam situasi darurat.
Dalam prakteknya, penting untuk memperhatikan asal akad transaksi agar relasi antara nasabah dan bank dibangun dengan baik sejak awal. Dengan demikian, penanganan kasus-kasus darurat dan bencana dapat dilakukan secara adil dan sesuai dengan prinsip syariah yang berlaku.