Khutbah Jumat memiliki peran penting dalam menyampaikan pesan-pesan keagamaan kepada jamaah. Dalam pensyariatan khutbah Jumat, terdapat hikmah-hikmah yang ingin ditekankan, antara lain untuk memberi pemahaman akan hal-hal penting dalam agama dan untuk mempersatukan umat. Namun, sayangnya, masih terdapat beberapa mimbar dan podium khutbah Jumat yang diisi dengan konten-konten provokatif.
Ajaran provokatif dalam khutbah Jumat dapat berupa ujaran kebencian, fitnah terhadap lawan politik, ajakan untuk mengganti sistem pemerintahan, atau bahkan menyuarakan jihad yang menyesatkan. Padahal, seharusnya khutbah Jumat bertujuan untuk memberi ketenangan dan kedamaian kepada jamaah, bukan sebaliknya.
Menurut pandangan fiqih Islam, khutbah yang memprovokasi adalah haram, karena dapat menimbulkan keresahan di masyarakat. Hal ini juga dilarang berdasarkan ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang menyatakan larangan terhadap fitnah. Fitnah dalam konteks ini diartikan sebagai cobaan atau ujian yang dapat menimbulkan kerusakan dan pertikaian di tengah umat.
Meskipun secara hukum formal khutbah provokatif tetap sah jika memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun khutbah, namun secara substansi hukumnya tetap dianggap haram. Khutbah seharusnya menjadi sarana untuk memberikan pesan yang mencerahkan dan menyatukan umat, bukan untuk memecah belah dan menimbulkan konflik.
Penting bagi para khatib untuk senantiasa memperhatikan isi pesan yang disampaikan dalam khutbah Jumat agar tetap sesuai dengan tujuan utama dari ibadah tersebut, yaitu untuk memberikan petunjuk dan kebaikan kepada umat. Menyampaikan khutbah dengan penuh kebijaksanaan dan kecintaan kepada umat adalah kunci agar pesan yang disampaikan dapat memberi manfaat yang sebenarnya.