Pada tanggal 2 Oktober 2018, ulama berpendapat bahwa pematokan harga, atau tas’îr, dalam jual beli adalah haram baik dalam kondisi krisis maupun normal. Memaksakan batas harga maksimal penjualan kepada pedagang dianggap sebagai perilaku zalim. Hal ini didasari oleh keyakinan akan kehalalan jual beli serta larangan terhadap riba menurut ajaran agama. Namun, hadits juga mencatat larangan jual beli di bawah atau di atas harga pasar dengan tujuan merusak pasar produk tetangga.
Dalam konteks pasar, pemahaman harga pasar menjadi aspek krusial. Terdapat empat karakteristik pasar yang perlu dipahami, salah satunya adalah pasar persaingan murni. Pasar ini ditandai oleh adanya banyak produsen dan konsumen di lokasi transaksi, di mana faktor-faktor seperti kualitas, periklanan, dan promosi tidak berpengaruh pada pasar ini. Persaingan hanya terjadi dalam hal harga.
Pematokan harga di pasar persaingan murni dapat menimbulkan krisis dan merugikan pihak-pihak yang terlibat. Misalnya, jika jumlah barang banyak namun pembeli sedikit, penurunan harga bisa terjadi untuk mencegah kerugian lebih lanjut. Di sisi lain, jika jumlah barang sedikit namun permintaan tinggi, peningkatan harga bisa terjadi untuk mengkompensasi kerugian.
Tas’îr yang dilakukan oleh pemerintah dapat berdampak pada praktik jual beli tertentu di pasar, seperti talaqqy rukban dan bai’ hadlir li al baad. Hal ini bisa mengakibatkan inflasi harga dan mengubah dinamika transaksi antara produsen dan konsumen. Oleh karena itu, dalam konteks pasar persaingan murni, pematokan harga bisa menjadi permasalahan yang kompleks.
Pemahaman tentang harga pasar dan larangan terhadap pematokan harga dalam Islam menjadi hal penting untuk menjaga keadilan dalam jual beli serta stabilitas pasar. Pengetahuan ini juga membantu memahami dampak dari kebijakan pemerintah terhadap dinamika ekonomi pasar.