Organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah dibubarkan melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Meski demikian, ideologi yang diusung oleh HTI tidak berhenti begitu saja. Beberapa anggota eks HTI terus melakukan propaganda khilafah dengan berbagai cara, baik secara terang-terangan maupun bawah tanah.
Salah satu kontroversi yang muncul adalah terkait dengan bendera yang digunakan oleh Hizbut Tahrir. Banyak pihak menolak penggunaan bendera ini, mengklaim bahwa menolak bendera Hizbut Tahrir tidak sama dengan menolak tauhid. Argumentasinya berfokus pada substansi dan fungsi suatu bendera, di mana bendera dianggap sebagai simbol dari ide dan substansi yang diusungnya.
Selain itu, terdapat perdebatan terkait tulisan dalam bendera Hizbut Tahrir yang memuat kalimat tauhid ‘Lā ilāha illallāh, Muhammadur rasūlullāh’. Beberapa pakar hadits menyatakan bahwa klaim ini lemah karena meragukan keabsahan hadits-hadits yang menjadi dasar klaim tersebut. Dalam konteks ini, menolak bendera Hizbut Tahrir bukanlah menolak tauhid Rasulullah SAW.
Dalam upaya menindaklanjuti pembubaran HTI, pemerintah telah mengeluarkan aturan yang melarang penggunaan atribut yang identik dengan Hizbut Tahrir. Hal ini dilakukan untuk mencegah kegiatan yang dapat mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Larangan ini tentu memunculkan pertanyaan seputar signifikansi penolakan terhadap bendera Hizbut Tahrir.
Kontroversi seputar bendera Hizbut Tahrir dan signifikansinya menjadi pembahasan yang menarik dalam menghadapi dampak dari pembubaran HTI. Perdebatan ini melibatkan berbagai kalangan, mulai dari pemerintah, akademisi, ormas, tokoh agama, hingga masyarakat luas. Bagaimanapun, penting untuk tetap menjaga kerukunan dan kesatuan dalam menghadapi isu-isu sensitif seperti ini.