Setiap pembeli barang pasti mengharapkan manfaat besar dari barang yang dibelinya. Namun, terkadang barang yang diterima tidak sesuai dengan spesifikasi yang dijanjikan oleh penjual. Inilah yang kemudian membuat pembeli melakukan klaim cacat. Di Indonesia, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) hadir untuk melindungi hak-hak konsumen terkait klaim cacat. Lembaga ini dibentuk pada 11 Mei 1973 dengan tujuan meningkatkan kesadaran konsumen tentang hak dan kewajiban mereka.
Dalam dunia perbankan, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga hadir untuk melindungi nasabah. Tujuan dari kedua lembaga ini adalah untuk memastikan konsumen dan pengguna mendapatkan barang atau layanan sesuai dengan yang dijanjikan oleh produsen atau lembaga perbankan.
Namun, pertanyaan muncul, apa sebenarnya pengertian cacat menurut syariat dalam konteks jual beli? Para ulama menetapkan definisi cacat dalam fiqih sebagai sesuatu yang mengurangi nilai barang, baik dari segi kualitas maupun fungsi. Definisi ini menjadi dasar hukum untuk mengembalikan barang yang cacat kepada penjualnya.
Dalam transaksi jual beli, jika terjadi cacat pada barang yang mempengaruhi nilai barang tersebut, pembeli berhak untuk mengembalikan barang tersebut kepada penjual. Hal ini sejalan dengan prinsip total quality management (TQM) yang berorientasi pada kepuasan pelanggan.
Pengertian cacat ini terus berkembang seiring waktu tergantung pada jenis produk yang ditawarkan oleh produsen dan juga model transaksi jual beli yang digunakan. Dalam hukum fiqih transaksi, barang yang cacat memiliki hukum asal untuk dikembalikan kepada penjualnya.
Definisi cacat ini menjadi landasan bagi hukum dalam menetapkan bolehnya pengembalian barang yang cacat dalam konteks jual beli menurut syariat.