Musibah seringkali menjadi ujian bagi setiap individu. Dalam konteks jual beli, kerusakan barang pesanan akibat musibah seperti gempa bumi atau kapal tenggelam dapat menimbulkan pertanyaan mengenai siapa yang bertanggung jawab atas penggantian barang tersebut, apakah pedagang atau pembeli.
Dalam kajian fiqih muamalah, ada prinsip bahwa barang dagangan sebelum diterima oleh pembeli merupakan tanggung jawab penjual. Jika terjadi kerusakan pada barang dalam proses pengiriman, maka penjuallah yang harus bertanggung jawab. Jika penjual tidak menjamin barang tersebut, maka transaksi jual beli dapat dinyatakan rusak dan penjual harus mengembalikan harga barang kepada pembeli.
Prinsip ini juga diperkuat dengan pandangan bahwa barang pesanan yang rusak sebelum diterima pembeli tidak dapat dibebankan kepada pembeli. Tanggung jawab sepenuhnya tetap pada penjual selama barang berada dalam proses pengiriman.
Berbagai cara pemesanan barang seperti melalui telepon langsung, melalui wakil, atau melalui makelar memberikan gambaran yang berbeda mengenai tanggung jawab atas kerusakan barang. Misalnya, pada pemesanan melalui wakil, saat wakil menerima barang maka kepemilikan barang sudah berpindah ke pembeli dan pembeli lah yang bertanggung jawab atas barang tersebut.
Dengan demikian, dalam kasus kerusakan barang pesanan akibat musibah, tanggung jawab atas penggantian barang bergantung pada tahapan proses pemesanan dan penerimaan barang. Prinsip utamanya adalah bahwa penjual bertanggung jawab atas barang hingga barang tersebut diterima oleh pembeli.