Perjalanan, baik jauh maupun dekat, merupakan kebutuhan yang tak terhindarkan dalam kehidupan manusia. Bagi seorang Muslim, menjalankan ibadah shalat, baik yang wajib maupun sunah, juga merupakan suatu keharusan agar dapat mendekatkan diri kepada Allah subhânahû wa ta’âlâ. Namun, saat kebutuhan untuk shalat bertabrakan dengan kondisi berada di atas kendaraan selama perjalanan, hal ini bisa menjadi tantangan tersendiri.
Para ulama menetapkan aturan main untuk melakukan shalat di atas kendaraan sebagai berikut: Diperbolehkan bagi seorang musafir yang sedang dalam perjalanan baik dengan kendaraan maupun berjalan kaki untuk melaksanakan shalat sunah dengan menghadap ke arah tempat tujuannya. Hal ini berlaku baik dalam perjalanan yang panjang yang memungkinkan untuk mengqashar shalat maupun dalam perjalanan yang pendek yang tidak memungkinkan mengqashar shalat, sesuai dengan pendapat yang dipegang oleh madzhab Syafi’i.
Dasar dari pendapat ini adalah hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW melaksanakan shalat di atas kendaraannya menghadap ke arah mana pun kendaraan tersebut menghadap. Namun, saat beliau akan melaksanakan shalat fardhu, beliau turun dari kendaraan dan melaksanakan shalat menghadap kiblat.
Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa shalat yang dapat dilakukan di atas kendaraan adalah shalat sunah saja. Ketika Rasulullah akan melaksanakan shalat fardhu, beliau turun dari kendaraan untuk melaksanakan shalat dengan sempurna, termasuk menghadap kiblat, berdiri, ruku’, dan sujud dengan benar.
Bagaimana dengan shalat wajib? Shalat wajib tidak boleh dilakukan di atas kendaraan kecuali jika dapat dilaksanakan dengan sempurna. Sebagai contoh, Rasulullah memerintahkan Ja’far bin Abi Thalib untuk melaksanakan shalat di atas kapal laut dengan berdiri selama tidak takut tenggelam.
Jika seseorang dalam perjalanan tidak mungkin melaksanakan shalat fardhu secara sempurna di atas kendaraannya, maka ia harus turun dan melaksanakan shalat fardhu di atas tanah. Namun, jika terdapat kendala yang membuat seseorang sulit untuk turun dan melaksanakan shalat di atas tanah, ia dapat melaksanakan shalât li hurmatil waqti sebagai penghormatan terhadap waktu shalat tersebut. Orang yang melaksanakan shalât li hurmatil waqti wajib mengulangi shalatnya ketika memungkinkan untuk melakukannya secara sempurna.
Dengan demikian, semoga pemahaman ini dapat membantu dalam menjalankan ibadah shalat dengan baik, terutama dalam kondisi perjalanan yang memerlukan penyesuaian agar tetap menjaga kualitas ibadah kita.