Dalam pembahasan sebelumnya, telah dibahas mengenai praktik akad salam, yang merupakan akad jual beli pemesanan barang yang belum ada di tempat transaksi namun spesifikasinya diketahui dan bisa dijamin. Hukum penggunaan akad ini dalam praktik muamalah adalah boleh. Namun, jual beli barang yang belum pernah disaksikan (‘ainun ghâib) tidak diperbolehkan. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Matan Abi Syujja’, “Jual beli barang yang bisa disifati dalam tanggungan hukumnya boleh, dan jual beli barang ghaib yang belum pernah disaksikan tidak boleh.”
Frasa ‘ainun ghâib dapat dipahami dalam dua pengertian, yaitu:
- Barang yang hendak diperjualbelikan benar-benar tidak ada dan belum terlintas dalam benak kedua orang yang berakad.
- Barang sebenarnya ada, namun tidak ada di tempat saat akad dilangsungkan dan belum pernah disaksikan oleh pembeli maupun penjualnya.
Dalam konteks ini, terdapat dua jenis ‘ainun ghâib. Untuk jenis pertama, hukumnya jelas tidak boleh karena barangnya sama sekali tidak ada dan belum terlintas dalam pikiran kedua belah pihak. Sementara untuk jenis kedua, terdapat perbedaan pendapat, namun pendapat yang paling sahih adalah tidak sah. Hal ini disampaikan oleh beberapa ulama besar dan disepakati sebagai pandangan mayoritas.
Dalam kasus di mana barang yang diperjualbelikan belum ada di tempat saat akad dilakukan, namun deskripsinya sudah diketahui oleh kedua belah pihak, hukumnya dijelaskan sebagai boleh dengan catatan bahwa barang tersebut tidak mudah berubah dan masing-masing pihak memiliki pemahaman terhadap barang tersebut.
Demikianlah pembahasan mengenai hukum jual beli barang yang belum pernah dilihat, di mana keputusan akhirnya bergantung pada karakteristik barang yang diperdagangkan serta pemahaman kedua belah pihak terhadap barang tersebut.