Sebagai makhluk ekonomi, manusia memiliki kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Dalam upaya memenuhi kebutuhan tersebut, manusia terlibat dalam berbagai aktivitas ekonomi seperti bertani, berburu, atau berdagang. Dengan perkembangan gaya hidup yang dinamis, muncul keinginan untuk memiliki dan menguasai barang milik orang lain. Untuk mengatur hal ini, konsep jual beli dalam syariah Islam diterapkan.
Dasar kebolehan syariat jual beli didasarkan pada Al-Qur’an, hadits, dan ijma’. Menurut penjelasan Syekh Taqiyuddin Al Husny dalam Kifâyatul Akhyar, jual beli dalam Islam adalah pertukaran harta yang dilakukan dengan ijab dan qabul sesuai aturan yang diizinkan.
Dalam perspektif syariah, terdapat tiga syarat sah jual beli. Meskipun Imam Al-Rafi’i menyebutnya sebagai syarat sah, bukan sebagai rukun. Ketiga syarat tersebut meliputi adanya penjual dan pembeli yang saling bertransaksi, lafadh ijab dan qabul yang menunjukkan persetujuan jual beli, serta barang yang ditransaksikan.
Pentingnya shighat (lafadh) dalam jual beli juga ditekankan. Shighat merupakan bagian penting dalam akad jual beli, di mana tanpa shighat yang benar, jual beli bisa menjadi tidak sah. Shighat dapat diucapkan secara langsung atau dengan kata-kata kiasan, asalkan mengandung makna serah terima barang.
Selain itu, terdapat tiga macam jual beli berdasarkan keberadaan barangnya, yaitu barang yang langsung ada di tempat, barang yang belum ada namun spesifikasinya dapat diketahui, dan barang yang sama sekali tidak berada di tempat dan tidak diketahui wujudnya.
Dari sisi pelaku akad (muta’âqidain), syarat sah jual beli meliputi kedua pihak harus ahli dalam jual beli dan memiliki hak memilih (khiyar). Jika salah satu pihak tidak memenuhi syarat ini, maka jual beli tersebut tidak sah.
Dengan memahami prinsip-prinsip dasar dan syarat sah jual beli dalam perspektif syariah, diharapkan kita dapat menjalankan transaksi ekonomi dengan penuh kehati-hatian sesuai dengan ajaran agama.