Sebuah firma konsultan internasional, Brand Finance, baru-baru ini merilis daftar merek tertinggi di dunia berdasarkan valuasi nilai. Amazon menempati peringkat pertama dengan valuasi Rp2.037 triliun di tahun 2018, diikuti oleh Apple dengan valuasi Rp1.977 triliun, dan Google dengan valuasi Rp1.633 triliun. Merek seperti Samsung dan Facebook juga masuk dalam lima besar (Kompas, 2018). Keberadaan merek sangat vital dalam dunia bisnis, membantu membangun citra perusahaan dan memudahkan konsumen mengidentifikasi produk.
Undang-undang perlindungan merek diatur di Indonesia oleh undang-undang nomor 15 tahun 2001 dan nomor 20 tahun 2016. Di sisi hukum Islam, meskipun tidak secara eksplisit dibahas oleh ulama klasik, konsep merek dapat dikaji dalam konteks harta dan kepemilikan. Dalam fiqih klasik, konsep mal (harta) meliputi benda materi serta manfaat dan hak. Mayoritas ulama kontemporer mendukung pandangan ini, menyatakan bahwa merek dapat dianggap sebagai harta yang memiliki nilai material dan manfaat.
Merek memberikan identitas pada produk dan memberikan jaminan kualitas kepada konsumen. Oleh karena itu, pemilik merek berhak mendapatkan perlindungan atas mereknya. Pelanggaran merek seperti menjiplak atau memalsukan produk bermerek dihukumi haram dalam perspektif Islam. Rasulullah juga menegaskan larangan memakan harta sesama dengan cara yang batil. Pelanggaran terhadap merek dapat dikenakan hukuman takzir, tergantung pada bentuk dan dampak pelanggaran tersebut.
Dengan demikian, penting untuk memahami bahwa merek bukan hanya simbol komersial tetapi juga memiliki nilai hukum dalam Islam. Perlindungan merek bukan hanya menjadi tanggung jawab hukum positif tetapi juga sesuai dengan nilai-nilai agama yang melarang penyalahgunaan harta orang lain. Hukuman atas pelanggaran merek haruslah sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan dalam Islam.