Dalam praktik beragama Islam, sering kita dengar pendapat yang berbeda mengenai apakah kita perlu menganut mazhab imam tertentu atau cukup merujuk langsung kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah. Beberapa orang berpendapat bahwa menganut mazhab tidaklah penting dan para mujtahid atau imam mazhab tidak harus dijadikan pedoman. Namun, para ulama sejarah banyak yang menisbatkan diri kepada mazhab tertentu dan secara terang-terangan mengikutinya.
Terdapat beberapa definisi mengenai bermazhab dalam beragama. Al-Imam Taj al-Din al-Subki menyatakan bahwa bermazhab adalah keteguhan seseorang kepada suatu mazhab yang diyakininya lebih kuat atau setara dengan yang lain. Sedangkan menurut Al-Syaikh Ramadlan al-Buthi, bermazhab adalah ketika seseorang yang belum mampu berijtihad mengikuti mazhab imam mujtahid. Jibril Migha menjelaskan bahwa bermazhab adalah ketika seorang alim mengikuti mazhab mujtahid dalam ushul dan furu’ fiqih.
Bermazhab dianggap penting agar pemahaman dan praktik agama kita benar. Dengan mengikuti salah satu dari empat mazhab (al-Hanafi, al-Maliki, al-Syafi’i, atau al-Hanbali), kita dapat merujuk pada otoritas yang telah disepakati para ulama sebagai penafsir yang dapat dipercaya terhadap Al-Qur’an dan as-Sunnah. Ulama-ulama ini dianggap memiliki kewenangan untuk menjelaskan kebenaran agama Islam.
Bermazhab atau tidak, masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Bagi kalangan awam, bertaklid mungkin lebih relevan daripada bermazhab. Namun, yang jelas, pemahaman agama yang benar dan aman dari kesalahan pemahaman dapat lebih terjaga jika kita mengikuti salah satu mazhab yang ada. Ulama-ulama merupakan pewaris ilmu dan amalan para nabi sebelumnya yang menjadi panutan bagi umat Islam.
Dalam kesimpulannya, penting bagi kita untuk memahami hakikat bermazhab dalam beragama Islam agar dapat menjalankan ajaran agama dengan benar dan sesuai dengan ajaran yang telah ditetapkan.