Islam sebagai agama yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan sesama manusia memiliki aturan yang ketat dalam menjaga nilai-nilai kemanusiaan. Hukum syariat dalam Islam telah diatur untuk kemaslahatan umat manusia. Salah satu aspek penting dalam syariat Islam adalah menjaga kelima tujuan syariah, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda.
Dalam konteks menjaga keturunan, pernikahan dan larangan zina memiliki peran penting. Larangan zina ditegaskan dalam Al-Qur’an, bahwa zina adalah perbuatan keji dan jalan yang buruk. Selain zina, hal-hal yang mendekatkan diri kepada zina juga dilarang dalam syariat Islam, seperti bersentuhan dengan lawan jenis yang tidak mahram.
Pertanyaan muncul mengenai hukum anak laki-laki bersentuhan dengan ibu tiri atau istri baru dari ayahnya, serta anak perempuan bersentuhan dengan ayah tiri atau suami baru dari ibunya. Menurut Imam Syihabudin al-Qulyubi dan Umairah, anak tiri perempuan dapat membatalkan wudlu jika ibu tirinya belum disetubuhi oleh ayahnya yang baru. Namun, setelah disetubuhi, bersentuhan antara ayah dan anak tiri perempuan tidak lagi membatalkan wudlu, karena hubungan mereka telah menjadi mahram.
Dalam konteks hubungan dengan saudari perempuan dari istri atau bibi dari istri, baik anak tiri maupun saudari perempuan tersebut dapat membatalkan wudlu secara mutlak. Namun, anak tiri tidak boleh dinikahi selamanya, sedangkan saudari perempuan dapat dinikahi jika istri telah diceraikan atau meninggal dunia.
Dalam sejarah, contoh pernikahan antara Sayyidina Utsman ibn Affan dengan putri Rasulullah menunjukkan pemahaman hukum bersentuhan dalam Islam. Kesimpulannya, hukum bersentuhan dalam Islam memiliki landasan syariat yang jelas dan mengatur hubungan antara individu dengan memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan yang dijaga.