Obligasi (syuquq) dalam konteks syariah merupakan bentuk utang yang dikeluarkan oleh perusahaan syariah kepada investor syariah. Sebagai bentuk apresiasi atas utang yang diberikan, ditetapkanlah nilai kembalian. Sementara itu, akad ijarah adalah konsep perpindahan nilai guna atau manfaat suatu barang dari orang yang menyewakan (ajîr) kepada penyewa (musta’jir) dengan besaran nilai ujrah yang disepakati di awal beserta lama waktu sewa.
Dalam prinsipnya, obligasi yang menggunakan akad ijarah adalah akad utang piutang di mana pihak yang memberi utang tidak mengutangkan uang, melainkan menyewakan suatu aset yang jenisnya diserahkan kepada perusahaan sebagai wakil investor untuk diatur.
Penting untuk dicatat bahwa menetapkan nisbah imbal ke pemberi utang di depan hukumnya haram karena masuk unsur riba. Namun, terdapat akad yang memungkinkan imbal tersebut asalkan akadnya bukan didasarkan pada penambahan kembalian nilai utang, tetapi menggunakan akad ijarah atau sewa-menyewa.
Sebuah contoh ilustratif adalah ketika seseorang memberi utang kepada orang lain dengan ketentuan bunga bulanan. Konsep ini dianggap sebagai riba karena nisbah telah ditentukan di awal. Namun, jika akadnya berbentuk penyewaan aset seperti rumah untuk kemudian disewakan kembali dengan harga sewa yang disepakati, hal ini dapat diterima dalam syariat.
Menurut kalangan syafi’iyah, hal seperti ini diperbolehkan asalkan syarat ijarah telah terpenuhi sepenuhnya, termasuk shighat ijab dan qabul antara penyewa dan yang menyewakan, keberadaan dua orang yang berakad, serta nilai manfaat dari objek akad ijarah.
Skema yang mendasari obligasi ijarah sebenarnya mirip dengan kasus di mana pihak perusahaan penerbit bertindak sebagai wakil investor sekaligus penyewa aset. Dalam konteks ini, perusahaan menyewakan aset sendiri setelah hak sewanya jatuh ke investor.
Aset yang disewakan dalam obligasi ijarah adalah aset pabrik berupa barang manfaat yang sah dalam pandangan syariah, meskipun belum berwujud fisik dan hanya terdiri atas aset manfaat. Dalam konteks ini, ulama sepakat bahwa akad ijarah dapat dilakukan atas aset manfaat.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa obligasi dengan prinsip ijarah atau penyewaan barang milik sendiri yang hak sewanya dimiliki oleh orang lain adalah sah dalam perspektif fiqih.