Investasi emas dalam praktik perbankan syariah didasari oleh Fatwa DSN MUI No. 77/DSN-MUI/VI/2010 yang mengatur tentang jual beli murabahah emas. Fatwa ini menekankan pentingnya jual beli murabahah dalam syariat, di mana praktik ini diperbolehkan sedangkan riba diharamkan. Namun, terdapat kompleksitas ketika jual beli dilakukan secara kredit atau tempo, terutama dalam konteks investasi emas.
Dalam konteks jual beli taqsith (kredit), harga harus ditentukan secara jelas di awal. Namun, jika harga emas naik, apakah pembeli tetap membayar sesuai perjanjian awal atau mengacu pada harga terbaru? Selain itu, apakah pembeli boleh menjual emas sebelum pelunasan penuh? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi fokus Fatwa DSN No. 77.
Dalam perspektif Fiqih Madzhab Syafi’i, barang yang dibeli baik secara kredit maupun tunai dianggap sudah menjadi milik sempurna bagi pembeli. Hal ini memungkinkan pembeli untuk menjual kembali barang tersebut. Namun, harga yang harus dibayarkan saat pelunasan adalah harga saat pembelian dilakukan.
Kontroversi muncul ketika aturan ini diterapkan dalam lembaga perbankan syariah. Untuk menghindari transaksi fiktif, prinsip saddu al-dzari’ah diterapkan. Dalam praktik jual beli emas secara kredit, pembeli harus bersedia menggadaikan emas yang dibelinya sebagai jaminan. Ini bertujuan untuk menjaga keabsahan transaksi dan mencegah spekulasi.
Meskipun demikian, akad jual beli emas dengan sistem kredit tidak dapat disamakan dengan akad investasi. Dalam investasi, terdapat pihak ‘amil (pengelola), mudlarib (investor), dan bidang usaha yang tidak tercakup dalam transaksi jual beli emas dengan cicilan.
Dengan demikian, penting bagi lembaga perbankan syariah untuk memahami prinsip-prinsip Fiqih terkait investasi emas dan menjaga agar transaksi tetap sesuai dengan prinsip syariah. Hal ini penting untuk menjaga keabsahan transaksi dan mencegah penyalahgunaan atas sistem investasi yang ada.