Sebuah usaha dapat dikategorikan ke dalam tiga model utama, yaitu usaha mandiri, usaha bersama dengan modal bersama, dan usaha bersama dengan modal dari pihak lain. Dalam konteks usaha bersama dengan modal dari pihak lain, hal ini dapat diartikan sebagai usaha bersama jika dilihat dari segi modalnya. Dengan demikian, modal merupakan syarat penting dalam mendirikan suatu badan usaha. Modal bisa diperoleh melalui patungan ataupun dari pihak baru yang menyuntikkan modal ke dalam usaha. Terkadang, untuk menjaga kelangsungan sebuah perusahaan, manajer perusahaan perlu mencari pemodal pengganti agar rekanan yang keluar dapat tergantikan. Keterlibatan pihak baru dalam suatu usaha dengan menyuntikkan modal disebut sebagai investor atau penanam modal. Proses penyuntikan modal ini dikenal dengan istilah investasi.
Dalam pandangan konsep syariah tentang bagi hasil, modal yang disuntikkan bisa bersifat bebas risiko atau rentan terhadap risiko. Pembiayaan jangka pendek seperti akad salam, istisnaiy, bai’ murabahah, musyarakah mutanaqishah, musaqah (akad pembiayaan pertanian), pembiayaan serikat dagang, dan lainnya termasuk dalam kategori bebas risiko karena pihak yang memberikan biaya akan selalu mendapatkan kembalian modal beserta keuntungan.
Sebagai contoh, dalam kasus pembiayaan pertanian, seorang petani membutuhkan biaya sebesar 10 juta rupiah. Bank menawarkan untuk membeli semua kebutuhan petani tersebut dan mengambil laba dari transaksi tersebut. Dalam hal ini, petani berperan sebagai investor sedangkan bank berperan sebagai pemberi pembiayaan dengan akad murabahah atau bai’ bil ahd. Risiko ketidakmengembalikan modal tidak ditemukan sehingga dana petani dijamin aman.
Investasi dalam akad istishna’iy juga mengikuti prinsip yang sama. Sebagai contoh, seseorang ingin mendirikan sebuah pabrik tahu. Seluruh dana pendirian pabrik ditanggung oleh lembaga pembiayaan. Setelah pabrik selesai dibangun, total biaya dihitung bersama dan petani membeli seluruh peralatan yang sudah jadi dengan akad bai’ bil ahd atau bai’ bi al-tsamani al-ajil. Dalam kondisi seperti ini, investasi termasuk dalam kategori tanpa risiko.
Selain jalur tanpa risiko, terdapat juga jalur yang rentan terhadap risiko. Misalnya, ketika bank ikut serta dalam kepemilikan saham suatu perusahaan tertentu dengan fokus pada industri makanan kemasan, minuman kaleng, atau infrastruktur. Risiko untung rugi dalam investasi seperti ini dapat mengakibatkan perhitungan kerugian atau keuntungan.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa investasi selalu melibatkan jalur usaha tertentu. Jika jalur usaha tidak ada, maka harta yang diberikan kepada suatu badan usaha bukan disebut sebagai modal melainkan hanya sebagai titipan atau simpanan biasa.
Investasi emas sering menjadi topik pembicaraan belakangan ini. Namun, tidak semua pembelian emas dapat disebut sebagai investasi. Investasi mensyaratkan adanya usaha dari pihak yang menyuntikkan modal. Berbagai jalur akad investasi seperti murabahah, mudlarabah, dan musyarakah memiliki syarat tertentu terkait jenis modal yang digunakan.
Dalam praktik investasi emas melalui jalur murabahah dan mudlarabah, pembiayaan dilakukan melalui praktik jual beli tawarruq atau bai’ul uhdah. Pada akhirnya, bentuk investasi emas mencakup pengembalian emas dengan jenis dan kadar yang sama kepada lembaga pembiayaan setelah seorang ‘amil memperoleh keuntungan dari jual beli emas.
Dengan demikian, investasi emas merupakan salah satu bentuk investasi yang dapat dilakukan dengan memperhatikan prinsip syariah dan menjaga agar aktivitas tersebut tidak melanggar aturan riba.