Syirkah wujuh adalah bentuk kemitraan di dalam dunia bisnis yang memiliki karakteristik unik. Konsep ini dijelaskan dalam kitab Kasyafu al-Qina’ ‘an Matni al-Iqna’ karya Syekh Manshur bin Yunus al-Bahuti. Dalam syirkah wujuh, dua individu atau lebih dapat melakukan pembelian tanpa modal, namun mereka berbagi keuntungan sesuai kesepakatan yang telah dibuat.
Rukun dari syirkah wujuh meliputi keberadaan produsen dengan modal, minimal dua orang pelaku syirkah sebagai mudlarib dan ‘amil, profesi atau keahlian yang sama, deskripsi tugas yang jelas, pembagian keuntungan yang terdefinisi, serta akad syirkah yang sah.
Dalam praktiknya, syirkah wujuh sering ditemui dalam serikat pekerja borongan, proyek, tender, arsitektur, dan bidang usaha lainnya. Meskipun tidak ada modal awal, mereka bekerja dengan skill dan kecakapan yang dimiliki. Keuntungan dan kerugian dibagi sesuai kesepakatan yang telah disepakati.
Perbedaan mendasar antara syirkah wujuh dengan syirkah ‘inan dan syirkah abdan terletak pada sumber modal dan mekanisme pembagian keuntungan. Syirkah ‘inan menggunakan modal hasil pencampuran, syirkah abdan tidak memiliki modal maupun ra’sul maal, sedangkan syirkah wujuh melibatkan pemodal tersendiri dengan pelaku usaha tanpa modal.
Meskipun syirkah wujuh dapat berjalan tanpa modal dan memberikan peluang usaha bagi banyak individu, terdapat risiko kerugian dan konflik pembagian keuntungan yang perlu diperhatikan. Beberapa fuqaha’ Syafi’iyah bahkan menyebut syirkah wujuh sebagai mudlarabah faasidah karena kerentanannya terhadap perselisihan dan pertikaian di antara pihak-pihak yang terlibat.
Dengan mempertimbangkan berbagai aspek tersebut, penting untuk memahami hukum dan implikasi dari syirkah wujuh dalam konteks fiqih Islam. Semoga penjelasan ini dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai konsep kemitraan ini dalam dunia bisnis Islam.