Membahas tentang makna “salaf” tidak boleh terpaku hanya pada satu definisi. Bahasa Arab memiliki kekayaan makna dalam setiap kata asalnya yang dapat berkembang menjadi berbagai makna tergantung pada konteksnya, termasuk perbedaan harakat. Istilah ini telah lama dikenal di Indonesia, seperti pesantren salafiyah yang mengacu pada metode pendidikan yang masih mengikuti metode salaf dalam menyampaikan pengetahuan, seperti sorogan dan bandongan, atau dalam konteks ilmu hadits yaitu tahammul wal ada’ via qira’ah ‘ala syaikh (murid membaca kepada guru) atau sima’ min syaikh (guru membaca dan murid mendengarkan).
Belakangan ini, banyak kelompok yang mengklaim diri sebagai pengikut aliran salafi. Ketika sebagian orang di pedesaan mendengar istilah ini, mereka langsung mengaitkannya dengan pesantren salafiyah yang ada di desa mereka atau santri-santri di pondok tersebut, padahal sebenarnya maknanya jauh lebih luas. Dikutip dari kitab “Nazarat fi Jauharatit Tauhid”, kita perlu membedakan ketiga istilah tersebut karena salah satunya memiliki makna yang berbeda dengan yang lainnya.
Salaf merujuk kepada para sahabat, tabi’in, dan atba’it tabiin yang hidup hingga sekitar tahun 300 H. Mereka dianggap sebagai generasi terbaik sesuai dengan hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Meskipun batas waktunya hingga tahun 300 H, penting untuk mencermati sejauh mana keselarasan mereka dengan Al-Quran dan Hadits. Jika ada kelompok yang hidup pada masa itu namun bertentangan dengan dua pedoman tersebut, mereka tidak dapat disebut sebagai salaf. Contoh salah satunya adalah sekte musyabbihah yang percaya bahwa Allah serupa dengan makhluk-Nya.
Salafi merujuk kepada mereka (baik ulama maupun orang awam) yang hidup setelah tahun 300 H namun tetap mengikuti manhaj (metode) salaf. Istilah ini dapat diterapkan pada siapa pun yang mengikuti metode salaf dengan benar, bukan hanya sekadar menyandang label salafi namun perilakunya jauh dari ajaran tersebut.
Salafiyyah adalah konsep yang diformulasikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dari Al-Quran, Hadits, serta ajaran ulama salaf yang dikodifikasikan dalam bentuk kitab dan prinsip tetap. Muhammad bin Abdil Wahhab kemudian menyebarkan ajaran yang disusun oleh kedua ulama tersebut di Jazirah Arab. Perbandingan pemikiran antara Muhammad bin Abdul Wahhab dan Ibnu Taimiyyah menunjukkan kesamaan dalam beberapa masalah akidah namun Ibnu Taimiyyah lebih terperinci dalam argumen dan pembelaannya.
Ketiga konsep tersebut memiliki perbedaan pada waktu dan pijakan dalam mengikuti ajaran salaf. Salafy mengacu pada mereka yang mengaku sebagai pengikut manhaj salaf atau Ahlussunah wal Jamaah, sementara salafiyyah cenderung lebih kepada usaha regenerasi walaupun dalam praktiknya tidak selalu demikian.
Sebagai masyarakat Indonesia, kita sering menggunakan istilah-istilah dari bahasa asing dalam kehidupan sehari-hari, seperti pondok pesantren salafiyah. Namun, penting untuk memahami suatu istilah berdasarkan makna sebenarnya serta substansi dan intisarinya. Jangan hanya terpaku pada makna literalnya saja karena kadang suatu istilah bisa memiliki perbedaan antara praktik dan substansinya.