Setiap kali hari Jumat tiba, tradisi meliburkan aktivitas belajar mengajar di pesantren di Nusantara menjadi hal umum. Hal serupa juga terjadi di majlis taklim di berbagai kampung. Tradisi ini telah berlangsung turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bagaimana pandangan fiqih terhadap tradisi libur mengaji ini? Mengapa kegiatan belajar dihentikan padahal belajar merupakan hal yang terus-menerus dilakukan? Artikel ini akan menjelaskan pandangan fiqih terkait tradisi libur mengaji di hari Jumat.
Syekh Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan dua alasan di balik keputusan meliburkan aktivitas belajar mengajar di hari Jumat. Pertama, karena hari Jumat merupakan hari raya umat Islam sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Nabi. Pada hari raya, seorang individu seharusnya tidak terlalu sibuk dengan pikiran yang mendalam. Alasan kedua adalah karena di hari Jumat, umat Islam dianjurkan untuk melakukan berbagai aktivitas khusus yang diajarkan oleh Nabi, seperti bersiap-siap menuju masjid, mandi hari Jumat, membersihkan diri, mencukur rambut, memotong kuku, dan lain sebagainya. Selain itu, umat Islam juga dianjurkan untuk berdoa dan berzikir sepanjang hari Jumat dengan harapan agar doa-doa mereka dikabulkan pada waktu yang tidak diketahui oleh siapapun.
Syekh Ibnu Hajar al-Haitami juga menjelaskan tentang aktivitas yang harus dilakukan setelah shalat Jumat. Seorang muslim diminta untuk tetap berada di masjid hingga waktu shalat Ashar karena terdapat keutamaan besar dalam hal tersebut. Setelah shalat Ashar, tidak ada lagi waktu untuk melakukan aktivitas lain dan umat Islam diperintahkan untuk bersungguh-sungguh dalam berdoa hingga matahari terbenam.
Tradisi meliburkan aktivitas belajar mengajar di hari Jumat juga dilakukan oleh Sayyidina Umar bin Khatab. Bahkan, beliau mendoakan keburukan bagi siapa pun yang mengubah tradisi tersebut.
Dengan demikian, tradisi libur mengaji di hari Jumat memiliki hikmah dan landasan fiqih yang kuat. Semoga penjelasan ini bermanfaat bagi pembaca.