Memiliki kemampuan tubuh yang berfungsi dengan baik merupakan anugerah yang tak ternilai. Salah satu cara untuk mensyukuri nikmat tersebut adalah dengan menggunakan anggota tubuh kita sebaik mungkin, termasuk dalam menjalankan kewajiban agama seperti shalat.
Dalam ajaran Islam, orang yang memiliki pendengaran dan penglihatan diperintahkan untuk tidak menunda-nunda waktu shalat setelah mendengar adzan atau melihat masuknya waktu shalat. Namun, bagaimana dengan mereka yang mengalami tunanetra dan tunarungu? Apakah mereka tetap wajib menjalankan shalat?
Menurut penjelasan beberapa ulama, jika seseorang mengalami kecacatan tersebut setelah baligh dan sudah memahami tata cara shalat, maka ia tetap diwajibkan untuk melaksanakan shalat sebagai bagian dari kewajiban agama. Hal ini sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW yang menganjurkan orang tua untuk mengajarkan anak-anaknya tentang shalat sejak dini.
Namun, jika kecacatan tersebut sudah ada sejak lahir, seperti tunanetra dan tunarungu, maka menurut beberapa ulama, orang tersebut tidak diwajibkan untuk menjalankan shalat. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan mereka dalam menerima dakwah agama karena difabilitas yang dialami sejak lahir.
Dalam hal ini, penting untuk memahami bahwa kewajiban menjalankan shalat bagi setiap individu dapat dipengaruhi oleh kondisi kecacatan yang dialaminya. Jika ada metode atau cara lain yang dapat membantu penyandang difabilitas untuk memahami ajaran agama, maka kewajiban tersebut tetap berlaku bagi mereka.
Dengan demikian, pemahaman mengenai kewajiban shalat bagi penyandang difabilitas penglihatan dan pendengaran perlu disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan individu tersebut. Semoga penjelasan ini dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai masalah ini dalam perspektif agama Islam.