Pada tulisan ini, kita akan membahas mengenai akad tawarruq dalam transaksi keuangan syariah. Akad tawarruq merupakan transaksi yang melibatkan pembeli, penjual, dan pihak ketiga dalam sebuah skema kredit yang kemudian dijual kembali secara kontan. Meskipun akad ini telah mendapat persetujuan dari ulama Syafi’iyah, namun terdapat perdebatan mengenai legalitasnya karena melibatkan unsur hiyal atau rekayasa dagang.
Dalam fatwa DSN MUI No. 82 Tahun 2011, dijelaskan bahwa kebolehan akad tawarruq dalam pandangan Syafi’iyah didasari oleh bai’ haqîqî, yaitu jual beli sebenarnya antara penjual dan pembeli dengan saling qabdlu. Namun, terdapat perhatian khusus terkait dengan akad tawarruq yang hanya didasarkan pada dokumen tanpa adanya transaksi fisik.
Mekanisme tawarruq ini juga terkait dengan perdagangan komoditi di bursa berdasarkan prinsip syariah. Perdagangan dapat berbentuk serah terima fisik atau lanjutan, dengan ketentuan tertentu yang harus dipenuhi sesuai dengan fatwa yang berlaku. Contoh konkritnya adalah ketika sebuah Lembaga Keuangan Syariah membutuhkan liquiditas dari Bank Syari’ah untuk membeli suatu barang dengan skema kredit.
Dalam konteks tawarruq, terjadi perwakilan berganda di mana pihak Bank Syari’ah bertindak sebagai wakil dari Lembaga Keuangan Syariah dalam proses transaksi. Meskipun terdapat keuntungan yang diperoleh oleh pihak Bank Syari’ah dari hasil penjualan, namun hal ini masih sesuai dengan prinsip syariah yang berlaku.
Meskipun terdapat kontroversi seputar legalitas akad tawarruq dalam transaksi keuangan syariah, namun penting untuk memperhatikan bahwa fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga terkait telah menjadi pedoman dalam menjalankan transaksi sesuai dengan prinsip syariah yang berlaku. Dengan demikian, pemahaman yang mendalam mengenai mekanisme tawarruq dan prinsip syariah menjadi kunci dalam menjalankan transaksi keuangan yang sesuai dengan nilai-nilai syariah.