Pada artikel sebelumnya, telah disorot mengenai transaksi giro bank syariah berdasarkan akad wadi’ah. Kesimpulan dari artikel sebelumnya menyebutkan bahwa jika giro tidak dipandang sebagai barang titipan dalam kerangka akad wadi’ah, maka ada dua kemungkinan posisi giro dalam konteks fiqih pada bank syariah.
Pertama, giro dianggap sebagai hutang (dayn). Dalam hal ini, bank memberikan uang kembalian (bonus) kepada nasabah karena uangnya digunakan untuk investasi yang menghasilkan keuntungan bagi bank syariah. Namun, pertanyaannya adalah bagaimana bonus ini dipandang dalam fiqih? Apakah sebagai hadiah atau bunga?
Karena bonus sudah ditentukan saat akad antara nasabah dan bank, maka tidak mungkin dianggap sebagai hadiah. Jika dipandang sebagai bunga, apa bedanya bank syariah dengan bank konvensional? Dalam fiqih, segala sesuatu yang memberi manfaat kepada pihak yang meminjam dianggap sebagai riba.
Dengan demikian, satu-satunya peluang untuk memandang transaksi giro dalam bank syariah sebagai sah menurut fiqih adalah melalui akad mudharabah. Dalam akad mudharabah, terdapat dua kemungkinan peran seseorang terhadap objek yang dipasrahkan padanya, yaitu sebagai orang yang diberi amanah atau penanggung.
Meskipun seharusnya tidak ada jaminan keamanan terhadap giro nasabah dalam akad mudharabah, namun faktanya perbankan sering bertindak sebagai penjamin keamanan dana nasabah. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah tindakan ini sesuai dengan syarat berlakunya akad mudharabah.
Dalam kitab at-Tadzhib fii Adillati Matni al Ghayati wa al Taqriib, terdapat 4 syarat dalam mudharabah yang harus dipenuhi. Mengacu pada syarat-syarat tersebut, giro bisa dianggap sebagai modal dan bank berperan sebagai mudharib. Namun, pertanyaan mendasar adalah bagaimana jika terjadi kerugian? Apakah bank boleh cuci tangan?
Dengan mengikuti syarat-syarat yang ada, pihak bank seharusnya tidak masuk dalam penanggung kerugian karena pentasharrufan adalah hak yang disepakati bersama antara nasabah dan bank. Untuk menjaga keberlangsungan usaha bank syariah secara syariat, diperlukan pemahaman yang mendalam akan prinsip-prinsip mudharabah dan qawaid yang harus diikuti oleh pihak bank.