Air memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya sebagai sarana bersuci tetapi juga untuk aktivitas lainnya seperti minum dan mencuci. Dalam fiqih, penggunaan air yang bersih dan suci sangat diatur dengan ketat. Namun, seringkali kita merasa ragu apakah air yang akan kita gunakan masih suci atau sudah tercemar oleh najis.
Dalam kitab Al-Muhadzdzab, Abu Ishak As-Syairozi menjelaskan empat perilaku seseorang terkait keyakinan kesucian air. Pertama, jika yakin air suci namun ragu akan kebersihannya, maka air tersebut tetap dianggap suci. Kedua, jika yakin air kotor namun ragu akan kekotorannya, maka air tetap dianggap kotor. Ketiga, jika tidak yakin baik kesucian maupun kekotoran air, maka air dianggap suci. Keempat, jika air telah berubah namun penyebabnya tidak jelas, maka air dianggap suci.
Imam Nawawi memberikan contoh kasus untuk memperjelas pandangan ini. Misalnya, jika kita yakin air suci awalnya namun kemudian timbul keraguan apakah air tersebut terkena najis, kita masih diperbolehkan menggunakan air tersebut karena keyakinan awal kita. Sebaliknya, jika kita yakin air kotor awalnya namun ragu apakah sudah bersih, maka air tetap dianggap kotor.
Dalam Islam, keyakinan dan kepastian sangat penting. Dalam sebuah hadis, Rasulullah mengajarkan agar tidak mengubah keputusan sebelum ada bukti yang jelas. Oleh karena itu, saat ragu tentang kesucian air, kita harus mengikuti prinsip-prinsip yang telah ditetapkan dalam fiqih untuk menjaga kesucian dan kebersihan dalam beribadah. Semoga penjelasan ini membantu kita dalam memahami dan mengambil keputusan yang tepat terkait kesucian air dalam praktik fiqih.