Dalam konteks agama Islam, seringkali muncul situasi di mana beberapa orang cenderung menilai amalan tertentu sebagai bid’ah. Namun, penting untuk memahami secara metodologis bagaimana ulama salaf menghadapi perbedaan pendapat dan vonis negatif terkait bid’ah.
Tidak Ada Dalil Khusus Tidak Selalu Berarti Haram
Ketika Nabi atau para ulama salaf tidak melakukan suatu hal, tidak selalu berarti hal tersebut diharamkan. At-tark (tidak melakukan) bisa disebabkan oleh berbagai alasan, seperti ketidakterbiasaan, kelalaian, atau pertimbangan lebih afdlal (lebih utama) untuk melakukan hal lain. Oleh karena itu, tidak bisa disimpulkan bahwa suatu hal diharamkan hanya karena Nabi tidak melakukannya.
Peran Dalil Syara’ dalam Penetapan Hukum
Pengharaman suatu perbuatan dalam Islam hanya dapat diambil dari tiga hal: larangan (nahy), kata-kata tegas pengharaman (lafazh tahrim), atau ancaman atas pelaku perbuatan tersebut. At-tark sendiri tidak cukup sebagai dalil pengharaman, dan hanya dapat menunjukkan kebolehan meninggalkan suatu amalan tanpa ada larangan khusus.
Pentingnya Keumuman Ayat dan Hadits
Dalam ushul fiqh, keumuman ayat atau hadits merupakan dalil syara’ yang dapat mencakup berbagai perkara. Jadi, jika suatu ayat atau hadits bersifat umum, itu sudah cukup sebagai dalil syara’ tanpa harus mencari dalil khusus terkait masalah tersebut.
Toleransi Ulama Salaf dalam Berbeda Pendapat
Dalam masalah furu’, para ulama salaf tidak pernah mengklaim bahwa pendapat mereka saja yang benar, dan mereka tidak melarang orang untuk mengikuti mazhab lain selama yang diikuti adalah ahli ijtihad. Mereka memahami bahwa perbedaan pendapat telah ada sejak zaman para sahabat Nabi, dan mereka tidak saling menyesatkan atau melarang orang untuk mengikuti pendapat lain.
Dengan memahami metodologi yang tepat dalam menyikapi bid’ah dan perbedaan pendapat dalam Islam, diharapkan umat dapat menjaga kerukunan serta menghormati keberagaman pendapat dalam ranah agama. Semoga artikel ini dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam terkait masalah ini.
