Hak kepemilikan yang sejati atas segala yang diam dan bergerak di bumi, baik di daratan maupun di lautan, adalah milik Allah semata. Jika prinsip ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, maka kekacauan akan terjadi karena setiap individu merasa sebagai khalifah Allah. Namun, dalam konteks yang lebih umum, hak milik Allah dapat diamanahkan kepada manusia agar kehidupan menjadi terang dan teratur.
Allah sendiri mengakui adanya hak milik (haqqul milk) dan hak guna (haqqul intifa’) bagi hamba-Nya. Dengan kedua hak tersebut, makhluk-makhluk ciptaan-Nya dapat berfungsi dengan baik, tidak bertindak semaunya. Namun, bagaimana pandangan agama Islam terhadap perbuatan plagiarisme?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, plagiarisme dijelaskan sebagai “pengambilan karangan atau pendapat orang lain dan menyajikannya seolah-olah karya sendiri, misalnya dengan menerbitkan tulisan orang lain atas nama diri sendiri; penjiplakan.”
Menurut Lembaga Fatwa Mesir, Darul Ifta Al-Mishriyyah, hak cipta dan hak-hak kreatif dilindungi secara syariah. Pemiliknya memiliki hak untuk menggunakan karya-karya tersebut dan tidak ada yang boleh melanggar hak tersebut. Dengan demikian, tindakan plagiarisme terhadap hak kekayaan intelektual dan merek dagang yang terdaftar, dengan cara mengklaim karya tersebut sebagai miliknya di hadapan publik, merupakan perbuatan yang dilarang secara agama. Hal ini termasuk dalam larangan dusta, pemalsuan, dan penipuan serta merupakan pengabaian terhadap hak orang lain serta tindakan merampok harta orang lain secara tidak sah.
Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk menghargai karya orang lain dan tidak melakukan plagiarisme. Jika tidak memungkinkan untuk mendapatkan izin, setidaknya sebutkan sumber dengan jelas beserta nama pembuatnya ketika mengutip karya seni, sastra, jurnalistik, atau temuan budaya lokal lainnya. Dengan demikian, kita dapat menjaga integritas dan menghormati hak cipta sesama individu. Semoga informasi ini bermanfaat.