Dalam hukum fiqih Islam, terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan berubahnya beberapa hukum pokok, seperti perubahan jumlah rakaat shalat, jamak shalat, serta keringanan dalam ibadah puasa. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah kondisi seorang muslim yang sedang melakukan perjalanan atau musafir.
Allah telah menjelaskan dalam Al-Qur’an bahwa bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan, mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan menggantinya di hari-hari lain. Namun, aturan main mengenai boleh tidaknya seorang musafir berpuasa tidak dijelaskan secara rinci dalam Al-Qur’an, sehingga para ulama memberikan penjelasan dan panduan yang perlu dipahami dengan baik oleh umat Islam.
Para fuqaha menjelaskan bahwa seorang musafir diperbolehkan untuk tidak berpuasa jika perjalanan yang dilakukan termasuk perjalanan yang jauh dan mubah. Jika berpuasa menyebabkan mudarat bagi musafir, maka lebih baik untuk berbuka, namun jika tidak, lebih baik untuk tetap berpuasa. Selain itu, terdapat syarat-syarat lain seperti jarak perjalanan minimal yang harus ditempuh untuk dapat mengqashar shalat.
Dalam konteks Indonesia, perjalanan yang dilakukan harus melewati batas daerah tempat tinggalnya sebelum waktu subuh. Jika seseorang mulai perjalanan setelah terbit fajar, maka ia wajib untuk tetap berpuasa penuh pada hari itu. Seorang musafir yang telah bermukim di suatu tempat juga dilarang untuk berbuka.
Dengan memahami aturan main yang telah dijelaskan oleh para ulama, diharapkan umat Islam dapat menjalankan ibadah puasanya dengan benar sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam agama Islam.